Senin, 07 Januari 2013

Persatuan Umat pada Masyarakat Yang Majemuk dalam Kacamata Islam


PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia sepanjang sejarah telah melalui berbagai macam era dan rezim yang pernah eksis di negeri ini, dimulai dari jauh sebelum kemerdekaan berhasil diraih hingga beberapa dekade setelah kemerdekaan tersebut dicapai. Fakta sejarah mengatakan bahwa negara Indonesia sebelum meraih kemerdekaannya merupakan kerajaan-kerajaan, suku-suku, beragam agama, bermacam adat istiadat, ratusan bahasa daerah dan pelbagai keragaman yang belum dipersatukan dalam sebuah negara yang merdeka.
Namun, semangat bangsa khususnya para pemuda untuk mempersatukan tanah air, bangsa dengan segala macam kemajemukannya dan bahasa nasional berhasil dibuktikan dalam peristiwa monumental, Sumpah Pemuda yang diselenggarakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Tidak hanya sampai di situ, semangat tersebut berhasil dicapai dengan dideklarasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang berhasil mempersatukan tanah air, bangsa dan bahasa nasional dalam satu naungan, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persatuan tersebut lebih dikukuhkan lagi dengan dicantumkannya “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan pada Garuda Pancasila dan ditetapkannya “Persatuan Indonesia” sebagai sila ketiga dari Pancasila.
Tapi persatuan yang seharusnya terbina itu sempat beberapa kali tercoreng dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan. Yang lebih disayangkan lagi, motif yang menjadi faktor perpecahan itu adalah sesuatu yang pada hakikatnya ingin dipersatukan dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh para pendiri dan  pendahulu bangsa melalui kemerdekaan Indonesia seperti agama, suku, ras dan semacamnya.
Oleh karena itulah perlu kiranya kita menganalisa ulang persatuan umat pada masyarakat yang mejemuk dalam kacamata Islam melihat bahwa Islam adalah agama mayoritas yang dianut di negeri zamrud khatulistiwa kita ini, terlebih agama Islam sendiri sempat menjadi motif kerusuhan dalam beberapa peristiwa seperti tragedi Poso, Ambon dan banyak lagi kerusuhan intern
dalam tubuh agama Islam di Indonesia seperti konflik Ahmadiyah, Syiah dan semacamnya.
DAFTAR ISI
Halaman Judul .......................................................................................................... i
Pendahuluan............................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................... iii
Persatuan Umat pada Masyarakat Yang Majemuk dalam Kacamata Islam ............. 1
Bhinneka Tunggal Ika Di Hadapan Islam ................................................................. 4
Kesimpulan dan Saran .............................................................................................. 6
Bibliografi.................................................................................................................. 7



PERSATUAN UMAT PADA MASYARAKAT YANG MAJEMUK DALAM KACAMATA ISLAM
Sebelum melangkah lebih jauh, ada satu hal yang sangat penting dan semestinya selalu menjadi slogan dalam berinteraksi dengan keragaman, yaitu bahwa kemajemukan dan keragaman adalah fitrah yang tak mungkin dapat dihindari. Dalam hal ini Allah berfirman dalam Al-Qur'an, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal…” (QS. Al-Hujurat: 13). Di beberapa ayat lain Allah mempertegas bahwa keragaman merupakan kehendak-Nya, seperti pada ayat 93 Surat An-Nahl dan ayat 48 Surat Al-Maidah.
Setelah kita megetahui realita posisi perbedaan dan keragaman di mata Islam, tentu kita menyadari bahwa merupakan hal yang mustahil menghilangkan keragaman dan kemajemukan yang ada dalam kehidupan ini karena hal itu merupakan fitrah. Dalam hal ini Al-Qur'an kembali menegaskan, “Jikalau Tuhanmu (wahai Muhammad) menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat…” (QS. Hud: 118)
Islam sebagai agama yang sempurna dan sekaligus solusi untuk segala problematika manusia yang multikompleks dan multidimensi tentunya memiliki etika dan koridor yang tak boleh dilanggar dalam berinteraksi dengan keragaman yang sudah merupakan fitrah itu. Berhubung masalah keragaman ini merupakan masalah sosial, maka Islam memberikan sampel kongkrit yang menjamah sisi sosial masyarakat dalam bentuk Rasulullah SAW dipandang dari sisi sosial beliau.
Dengan alasan inilah kita bisa mengatakan bahwa etika yang disuguhkan Islam dalam menghadapi keragaman adalah etika praktis aktif, bukan hanya merupakan teori yang tercantum di kitab suci yang dikultuskan oleh umat Islam dan juga bukan hanya sekedar sabda suci Rasulullah SAW tanpa bukti nyata.
1
Untuk menganalisa etika Rasulullah SAW dalam menghadapi keragaman, sudah barang tentu kita perlu kembali ke sejarah hidup beliau (sirah) khususnya yang berkenaan dengan relasi beliau dengan masyarakat sekitar yang kala itu juga memiliki keragaman yang sebenarnya sudah lama eksis di ‘negara’ Madinah, seperti keragaman agama, suku, adat istiadat dan bahkan keragaman pendapat yang kerap kali terjadi di kalangan sahabat beliau sendiri.
Semua kitab sirah yang menceritakan perpindahan (hijrah) Rasulullah dari kota Makkah  ke kota Madinah sepakat bahwa ada tiga langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menata ‘negara’ baru yang hendak beliau bangun. Pertama, membangun mesjid, kedua, mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan kaum anshor dan yang ketiga menjalin dan menata rapi relasi dengan orang-orang Yahudi yang juga bermukim di Madinah dengan menyepakati beberapa perjanjian yang oleh Imam Muhammad Sa’id Ramadan Al-Buthi disebut sebagai hukum konstitusi[1].
Dari ketiga poin yang telah disebutkan tadi, poin kedua dan ketigalah yang perlu kita analisa lebih lanjut guna mendapatkan benang merah dari etika yang Rasulullah tawarkan dan aplikasikan dalam menghadapi keragaman, karena poin pertama lebih menekankan faktor ‘pribadi’ agama Islam dan kaum muslimin sendiri tanpa melihat lebih intensif relasi antarmuslim atau antar muslim dengan agama lain.
Kalau kita lihat, poin kedua memberikan kita model dan pola pikir Rasulullah dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada di tubuh muslimin sendiri. Dengan pemersatuan antara kaum muhajirin dan anshor, Rasulullah menunjukkan kepada kita bahwa keragaman yang ada dalam sebuah komunitas – atau yang lebih akrab dikenal oleh bangsa Indonesia sebagai ke-bhinneka-an – bukanlah alasan untuk perpecahan, namun hal tersebut merupakan fitrah dan kekayaan yang perlu dibina dan dinaungi dalam satu naungan.
2
Hal ini akan terlihat lebih transparan kalau kita melihat kepada sejarah kaum anshor sendiri, dimana kaum anshor terdiri dari dua suku besar yang sebelum kedatangan Rasulullah menyimpan permusuhan klasik diantara mereka hingga menyebabkan perang berkepanjangan yang menelan banyak nyawa. Namun dengan prinsip persatuan yang diaplikasikan oleh Rasulullah dalam mengahadapi keragaman tersebut, perpecahan bahkan kerusuhan dengan motif kesukuan tersebut berhasil dihilangkan[2].
Begitu pula dengan persatuan yang dibina oleh Rasulullah antara kaum muhajirin dan kaum anshor. Dengan dipersaudarakannya kedua kaum tersebut, Rasulullah secara implisit memberikan simbol kepada kita bahwa kedaerahan dan perbedaan adat istiadat juga tak boleh dan tak semestinya dijadikan faktor untuk bercerai berai. Lebih dalam lagi kita akan menemukan persaudaraan antara kedua kaum tersebut sangat erat dan loyalitas antar mereka sangatlah tinggi hingga hukum-hukum syariat yang sebenarnya hanya berlaku antar saudara sedarah seperti warisan, diterapkan – oleh kaum muhajirin dan anshor – dalam hubungan saudara seagama mereka[3].
Beralih kepada poin yang ketiga, kita akan melihat sudut pandang dan etika Rasulullah yang lebih luas dalam menyikapi perbedaan dalam skala yang lebih luas pula seperti perbedaan agama.
Dari segi kebenaran, seorang muslim – lebih-lebih Rasulullah – tak akan pernah meragukan kebenaran Islam yang dianutnya. Tapi hal ini bukan berarti lantas seorang muslim tidak mengakui eksistensi agama lain di sekitarnya. Pengakuan eksistensi ini dicontohkan oleh Rasulullah dengan ditetapkannya poin-poin perjanjian antara muslimin dengan orang Yahudi yang hidup di kota Madinah, yang mana termasuk di dalam poin-poin perjanjian itu, “Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi orang Islam agama mereka…”[4].
3
Poin urgen ini tak  hanya berupa konstitusi tertulis yang disepakati oleh kedua pihak, namun Rasulullah SAW sebagai contoh dalam menghadapi perbedaan juga menerjemahkan poin tersebut ke dalam kehidupan nyata dengan sepenuhnya memberikan kebebasan kepada orang Yahudi untuk tetap memeluk agama mereka. Memang sejarah mencatat bahwa Rasulullah SAW pernah memerangi sebagian kaum Yahudi tersebut, namun hal itu tak lain dikarenakan pelanggaran janji yang dilakukan oleh pihak kaum Yahudi
Lebih jauh lagi, dalam kepentingan yang bersangkutan dengan ‘negara’ Madinah Rasulullah menegaskan bahwa umat Islam dan kaum Yahudi dianggap satu, sama-sama berkewajiban membela diri, saling membantu dan sama-sama berkewajiban menyokong di bidang finansial dalam mempertahankan kedaulatan ‘negara’ Madinah tersebut[5]. Dari poin ketiga inilah nilai-nilai dan norma-norma persatuan dan kesatuan dalam sebuah negara dapat dilihat dari contoh kongkrit yang diberikan Rasulullah.
Contoh lain yang juga dapat kita lacak dari sirah Rasulullah – diluar tiga poin yang telah disebutkan tadi – adalah etika yang beliau kedepankan ketika terjadi perselisihan pendapat antara para sahabat beliau dalam peristiwa peperangan melawan Bani Quraidzah. Perselisihan pendapat tersebut terjadi lantaran perbedaan komprehensi di kalangan sahabat terhadap statemen Rasulullah untuk tidak sholat di perjalanan. Keluar dari latar belakang perbedaan, yang perlu kita tilik lebih lanjut adalah sikap Rasulullah ketika mengetahui perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat. Beliau menerima perbedaan tersebut tanpa menyalahkan pihak manapun[6].
Begitulah dan masih banyak lagi contoh yang dapat kita baca dari sirah Rasulullah dalam menghadapi perbedaan. Namun contoh-contoh yang telah kita uraikan ditas sudah bisa kita jadikan gambaran global mengenai perbedaan dan etika menghadapinya serta persatuan umat pada masyarakat yang majemuk dalam kacamata Islam.
BHINNEKA TUNGGAL IKA DI HADAPAN ISLAM
Masyarakat dan bangsa Indonesia dengan beragam kemajemukannya di segala bidang dan segala aspek penyusun bangsa itu sendiri memiliki satu persamaan yang tak dapat dilepas, yaitu persamaan bahwa semua bangsa berada di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini lebih dikenal oleh bangsa kita dengan istilah yang tertera pada lambang negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua).
4
4
Namun bagaimanakah pandangan Islam terhadap Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri? Benarkah keragaman yang sangat kompleks yang dimiliki oleh bangsa dan masyarakat Indonesia dapat dipersatukan dalam satu naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Maksud dari semboyan ini dipandang dari aplikasinya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang mejemuk adalah bahwa bangsa Indonesia adalah satu bangsa di tengah semua keragaman dan perbedaan yang dimiliki. Perbedaan dan keragaman itu bukanlah faktor yang bisa dijadikan alasan untuk perpecahan, namun perbedaan dan keragaman itu tak lain merupakan aset berharga negara yang harus dilestarikan.
Islam dalam memandang dan berinteraksi dengan perbedaan – sebagaimana telah dibahas pada pembahasan sebelumnya – memberikan contoh kongkrit dalam bentuk Rasulullah SAW. Kalau kita teliti ulang, prinsip Bhinneka Tunggal Ika sebenarnya telah dicontohkan oleh Rasulullah meskipun bahasa dan ibarat yang digunakan tidak sama persis dengan ibarat yang digunakan oleh bangsa Indonesia.
Hal tersebut dapat terlihat jelas dari contoh-contoh yang telah diuraikan diatas seperti pembinaan persaudaraan antara kaum muhajirin dan anshor tanpa melihat kesukuan, kedaerahan dan perbedaan adat istiadat, menjalin dan menata rapi hubungan antara umat Islam dan umat Yahudi serta pernyataan bahwa semua penduduk negara Madinah adalah satu dan sama dibawah naungan negara dalam hal pembelaan negara atau yang kita kenal dalam istilah modern dengan patriotisme, hingga tindakan Rasulullah dalam menghadapi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat.
Dari analogi tersebut dapat kita katakan dengan penuh keyakinan bahwa prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang dianut oleh bangsa Indonesia searah dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah dan sama sekali tak bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam. Dari penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika itulah akan tumbuh berkembang rasa nasionalisme, patriotisme dan kecintaan terhadap negara dengan tetap menjaga dan menghargai perbedaan, keragaman dan kemajemukan yang ada di tubuh bangsa Indonesia sendiri.
5
 
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah kita bersama-sama menganalisa sejarah perjalanan hidup Rasulullah sebagai sosok pertama aplikator hukum syariat Islam, khususnya yang berkenaan dengan pandangan dan etika beliau dalam menghadapi kemajemukan dan keragaman yang ada di negara yang beliau dirikan yaitu negara Madinah, kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Perbedaan dan kemajemukan merupakan hal yang alami dan fitrah serta mustahil untuk dihilangkan, apalagi dalam sebuah negara dan masyarakat yang menampung banyak keragaman dan kebhinnekaan seperti negara dan masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, tugas bangsa Indonesia dengan mayoritas penduduknya yang muslim bukanlah mempermasalahkan perbedaan dan menjadikannya alasan untuk bercerai berai, namun tugas yang sebenarnya adalah berinteraksi dengan perbedaan tersebut sesuai dengan syariat Islam.
Syariat Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam implementasi kehidupan beliau menggambarkan kepada kita urgensi persatuan umat pada sebuah masyarakat yang majemuk. Urgensi tersebut secara langsung dilukiskan oleh Rasulullah dalam bentuk aplikasi kongkrit sebagai langkah pertama beliau ketika membangun ‘negara’ Madinah seperti pemersatuan kaum muhajirin dan kaum anshor dengan beragam kemajemukan yang dimiliki kedua kaum tersebut, pembinaan dan penataan kembali relasi antara umat Islam dan umat Yahudi yang berdomisili di ‘negara’ Madinah dan beberapa langkah lain yang dicatat oleh sejarah.
6
Oleh karena itu, bangsa dan masyarakat Indonesia yang sangat majemuk serta bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika harus bisa menerima dan mengaplikasikan ‘pesan’ yang disampaikan oleh Rasulullah melalui langkah-langkah awal beliau untuk mempersatukan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa dan masyarakat negara Madinah. Bangsa dan masyarakat Indonesia harus memandang bahwa keragaman dan perbedaan yang ada di dalam tubuh bangsa adalah aset bangsa yang perlu dilestarikan dan bukanlah alasan untuk perpecahan. Dengan demikian, akan tercapailah negara Indonesia yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika sesuai dengan semangat persatuan yang diserukan oleh Rasulullah dalam menjalankan roda pemerintahan negara Madinah.


[1]- Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, Lebanon: Dar al-Fikr. Cet ke- 2, 1999. Jilid 2 hal 9.
[2]- Abdurrahman As-Suhaili, Al-Raudul Unuf, Kairo: Darul Kutub Al-Islamiyah, Cet ke-1 1967. Jilid 2 hal 45.
[3]- Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, Lebanon: Dar al-Fikr. Cet ke- 2, 1999. Jilid 2 hal 13.
[4]- Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, Kairo: Dar al-Sahabah, Cet ke-1, 1995. Jilid 1 Hal 504.
[5]- Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, Kairo: Dar al-Sahabah, Cet ke-1, 1995. Jilid 1 Hal 505.
[6] - Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, Lebanon: Dar al-Fikr. Cet ke- 2, 1999. Jilid 2 hal 165.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar