PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia sepanjang sejarah telah melalui berbagai macam era
dan rezim yang pernah eksis di negeri ini, dimulai dari jauh sebelum kemerdekaan
berhasil diraih hingga beberapa dekade setelah kemerdekaan tersebut dicapai.
Fakta sejarah mengatakan bahwa negara Indonesia sebelum meraih kemerdekaannya merupakan
kerajaan-kerajaan, suku-suku, beragam agama, bermacam adat istiadat, ratusan
bahasa daerah dan pelbagai keragaman yang belum dipersatukan dalam sebuah
negara yang merdeka.
Namun, semangat bangsa khususnya para pemuda untuk mempersatukan
tanah air, bangsa dengan segala macam kemajemukannya dan bahasa nasional
berhasil dibuktikan dalam peristiwa monumental, Sumpah Pemuda yang
diselenggarakan pada tanggal 28 Oktober 1928. Tidak hanya sampai di situ,
semangat tersebut berhasil dicapai dengan dideklarasikannya kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 yang berhasil mempersatukan tanah air,
bangsa dan bahasa nasional dalam satu naungan, Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Persatuan tersebut lebih dikukuhkan lagi dengan dicantumkannya
“Bhinneka Tunggal Ika” sebagai semboyan pada Garuda Pancasila dan ditetapkannya
“Persatuan Indonesia” sebagai sila ketiga dari Pancasila.
Tapi persatuan yang seharusnya terbina itu sempat beberapa kali tercoreng
dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia pasca kemerdekaan. Yang lebih
disayangkan lagi, motif yang menjadi faktor perpecahan itu adalah sesuatu yang
pada hakikatnya ingin dipersatukan dalam naungan Negara Kesatuan Republik
Indonesia oleh para pendiri dan
pendahulu bangsa melalui kemerdekaan Indonesia seperti agama, suku, ras
dan semacamnya.
Oleh karena itulah perlu kiranya kita menganalisa ulang persatuan
umat pada masyarakat yang mejemuk dalam kacamata Islam melihat bahwa Islam
adalah agama mayoritas yang dianut di negeri zamrud khatulistiwa kita ini,
terlebih agama Islam sendiri sempat menjadi motif kerusuhan dalam beberapa
peristiwa seperti tragedi Poso, Ambon dan banyak lagi kerusuhan intern
dalam tubuh agama Islam di Indonesia seperti konflik Ahmadiyah, Syiah dan semacamnya.
dalam tubuh agama Islam di Indonesia seperti konflik Ahmadiyah, Syiah dan semacamnya.
DAFTAR ISI
Halaman Judul .......................................................................................................... i
Pendahuluan............................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................... iii
Persatuan Umat pada Masyarakat Yang Majemuk dalam Kacamata Islam ............. 1
Bhinneka Tunggal Ika Di Hadapan Islam ................................................................. 4
Kesimpulan dan Saran .............................................................................................. 6
Bibliografi.................................................................................................................. 7
PERSATUAN UMAT PADA MASYARAKAT YANG MAJEMUK DALAM KACAMATA ISLAM
Sebelum melangkah lebih jauh, ada satu hal yang sangat penting dan
semestinya selalu menjadi slogan dalam berinteraksi dengan keragaman, yaitu
bahwa kemajemukan dan keragaman adalah fitrah yang tak mungkin dapat dihindari.
Dalam hal ini Allah berfirman dalam Al-Qur'an, “Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal…” (QS.
Al-Hujurat: 13). Di beberapa ayat lain Allah mempertegas bahwa keragaman
merupakan kehendak-Nya, seperti pada ayat 93 Surat An-Nahl dan ayat 48 Surat
Al-Maidah.
Setelah kita megetahui realita posisi perbedaan dan keragaman di
mata Islam, tentu kita menyadari bahwa merupakan hal yang mustahil
menghilangkan keragaman dan kemajemukan yang ada dalam kehidupan ini karena hal
itu merupakan fitrah. Dalam hal ini Al-Qur'an kembali menegaskan, “Jikalau
Tuhanmu (wahai Muhammad) menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang
satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat…” (QS. Hud: 118)
Islam sebagai agama yang sempurna dan sekaligus solusi untuk segala
problematika manusia yang multikompleks dan multidimensi tentunya memiliki
etika dan koridor yang tak boleh dilanggar dalam berinteraksi dengan keragaman
yang sudah merupakan fitrah itu. Berhubung masalah keragaman ini merupakan
masalah sosial, maka Islam memberikan sampel kongkrit yang menjamah sisi sosial
masyarakat dalam bentuk Rasulullah SAW dipandang dari sisi sosial beliau.
Dengan alasan inilah kita bisa mengatakan bahwa etika yang
disuguhkan Islam dalam menghadapi keragaman adalah etika praktis aktif, bukan
hanya merupakan teori yang tercantum di kitab suci yang dikultuskan oleh umat Islam
dan juga bukan hanya sekedar sabda suci Rasulullah SAW tanpa bukti nyata.
1
|
Semua kitab sirah yang menceritakan perpindahan (hijrah) Rasulullah
dari kota Makkah ke kota Madinah sepakat
bahwa ada tiga langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menata
‘negara’ baru yang hendak beliau bangun. Pertama, membangun mesjid, kedua,
mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan kaum anshor dan yang ketiga menjalin
dan menata rapi relasi dengan orang-orang Yahudi yang juga bermukim di Madinah
dengan menyepakati beberapa perjanjian yang oleh Imam Muhammad Sa’id Ramadan
Al-Buthi disebut sebagai hukum konstitusi[1].
Dari ketiga poin yang telah disebutkan tadi, poin kedua dan
ketigalah yang perlu kita analisa lebih lanjut guna mendapatkan benang merah
dari etika yang Rasulullah tawarkan dan aplikasikan dalam menghadapi keragaman,
karena poin pertama lebih menekankan faktor ‘pribadi’ agama Islam dan kaum
muslimin sendiri tanpa melihat lebih intensif relasi antarmuslim atau antar
muslim dengan agama lain.
Kalau kita lihat, poin kedua memberikan kita model dan pola pikir
Rasulullah dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang ada di tubuh muslimin
sendiri. Dengan pemersatuan antara kaum muhajirin dan anshor, Rasulullah
menunjukkan kepada kita bahwa keragaman yang ada dalam sebuah komunitas – atau
yang lebih akrab dikenal oleh bangsa Indonesia sebagai ke-bhinneka-an –
bukanlah alasan untuk perpecahan, namun hal tersebut merupakan fitrah dan
kekayaan yang perlu dibina dan dinaungi dalam satu naungan.
2
|
Begitu pula dengan persatuan yang dibina oleh Rasulullah antara
kaum muhajirin dan kaum anshor. Dengan dipersaudarakannya kedua kaum tersebut,
Rasulullah secara implisit memberikan simbol kepada kita bahwa kedaerahan dan
perbedaan adat istiadat juga tak boleh dan tak semestinya dijadikan faktor
untuk bercerai berai. Lebih dalam lagi kita akan menemukan persaudaraan antara
kedua kaum tersebut sangat erat dan loyalitas antar mereka sangatlah tinggi
hingga hukum-hukum syariat yang sebenarnya hanya berlaku antar saudara sedarah
seperti warisan, diterapkan – oleh kaum muhajirin dan anshor – dalam hubungan
saudara seagama mereka[3].
Beralih kepada poin yang ketiga, kita akan melihat sudut pandang
dan etika Rasulullah yang lebih luas dalam menyikapi perbedaan dalam skala yang
lebih luas pula seperti perbedaan agama.
Dari segi kebenaran, seorang muslim – lebih-lebih Rasulullah – tak
akan pernah meragukan kebenaran Islam yang dianutnya. Tapi hal ini bukan
berarti lantas seorang muslim tidak mengakui eksistensi agama lain di
sekitarnya. Pengakuan eksistensi ini dicontohkan oleh Rasulullah dengan
ditetapkannya poin-poin perjanjian antara muslimin dengan orang Yahudi yang
hidup di kota Madinah, yang mana termasuk di dalam poin-poin perjanjian itu,
“Bagi orang Yahudi agama mereka dan bagi orang Islam agama mereka…”[4].
3
|
Lebih jauh lagi, dalam kepentingan yang bersangkutan dengan
‘negara’ Madinah Rasulullah menegaskan bahwa umat Islam dan kaum Yahudi
dianggap satu, sama-sama berkewajiban membela diri, saling membantu dan
sama-sama berkewajiban menyokong di bidang finansial dalam mempertahankan
kedaulatan ‘negara’ Madinah tersebut[5].
Dari poin ketiga inilah nilai-nilai dan norma-norma persatuan dan kesatuan
dalam sebuah negara dapat dilihat dari contoh kongkrit yang diberikan
Rasulullah.
Contoh lain yang juga dapat kita lacak dari sirah Rasulullah
– diluar tiga poin yang telah disebutkan tadi – adalah etika yang beliau
kedepankan ketika terjadi perselisihan pendapat antara para sahabat beliau
dalam peristiwa peperangan melawan Bani Quraidzah. Perselisihan pendapat
tersebut terjadi lantaran perbedaan komprehensi di kalangan sahabat terhadap
statemen Rasulullah untuk tidak sholat di perjalanan. Keluar dari latar
belakang perbedaan, yang perlu kita tilik lebih lanjut adalah sikap Rasulullah
ketika mengetahui perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan sahabat. Beliau
menerima perbedaan tersebut tanpa menyalahkan pihak manapun[6].
Begitulah dan masih banyak lagi contoh yang dapat kita baca dari sirah
Rasulullah dalam menghadapi perbedaan. Namun contoh-contoh yang telah kita
uraikan ditas sudah bisa kita jadikan gambaran global mengenai perbedaan dan
etika menghadapinya serta persatuan umat pada masyarakat yang majemuk dalam
kacamata Islam.
BHINNEKA TUNGGAL IKA DI HADAPAN ISLAM
Masyarakat dan bangsa Indonesia dengan beragam kemajemukannya di segala
bidang dan segala aspek penyusun bangsa itu sendiri memiliki satu persamaan
yang tak dapat dilepas, yaitu persamaan bahwa semua bangsa berada di bawah
naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini lebih dikenal oleh bangsa
kita dengan istilah yang tertera pada lambang negara, yaitu Bhinneka Tunggal
Ika (Berbeda-beda tetapi tetap satu jua).
4
|
4
|
Bhinneka Tunggal Ika berasal dari bahasa Sangsekerta yang berarti
berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Maksud dari semboyan ini dipandang dari
aplikasinya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang mejemuk
adalah bahwa bangsa Indonesia adalah satu bangsa di tengah semua keragaman dan
perbedaan yang dimiliki. Perbedaan dan keragaman itu bukanlah faktor yang bisa
dijadikan alasan untuk perpecahan, namun perbedaan dan keragaman itu tak lain
merupakan aset berharga negara yang harus dilestarikan.
Islam dalam memandang dan berinteraksi dengan perbedaan –
sebagaimana telah dibahas pada pembahasan sebelumnya – memberikan contoh
kongkrit dalam bentuk Rasulullah SAW. Kalau kita teliti ulang, prinsip Bhinneka
Tunggal Ika sebenarnya telah dicontohkan oleh Rasulullah meskipun bahasa dan
ibarat yang digunakan tidak sama persis dengan ibarat yang digunakan oleh
bangsa Indonesia.
Hal tersebut dapat terlihat jelas dari contoh-contoh yang telah
diuraikan diatas seperti pembinaan persaudaraan antara kaum muhajirin dan
anshor tanpa melihat kesukuan, kedaerahan dan perbedaan adat istiadat, menjalin
dan menata rapi hubungan antara umat Islam dan umat Yahudi serta pernyataan bahwa
semua penduduk negara Madinah adalah satu dan sama dibawah naungan negara dalam
hal pembelaan negara atau yang kita kenal dalam istilah modern dengan
patriotisme, hingga tindakan Rasulullah dalam menghadapi perbedaan pendapat di
kalangan para sahabat.
Dari analogi tersebut dapat kita katakan dengan penuh keyakinan
bahwa prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang dianut oleh bangsa Indonesia searah
dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah dan sama sekali tak bertentangan
dengan prinsip dasar hukum Islam. Dari penerapan prinsip Bhinneka Tunggal Ika
itulah akan tumbuh berkembang rasa nasionalisme, patriotisme dan kecintaan
terhadap negara dengan tetap menjaga dan menghargai perbedaan, keragaman dan
kemajemukan yang ada di tubuh bangsa Indonesia sendiri.
5
|
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah kita bersama-sama menganalisa sejarah perjalanan hidup
Rasulullah sebagai sosok pertama aplikator hukum syariat Islam, khususnya yang
berkenaan dengan pandangan dan etika beliau dalam menghadapi kemajemukan dan
keragaman yang ada di negara yang beliau dirikan yaitu negara Madinah, kita
dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
Perbedaan dan kemajemukan merupakan hal yang alami dan fitrah serta
mustahil untuk dihilangkan, apalagi dalam sebuah negara dan masyarakat yang
menampung banyak keragaman dan kebhinnekaan seperti negara dan masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, tugas bangsa Indonesia dengan mayoritas penduduknya
yang muslim bukanlah mempermasalahkan perbedaan dan menjadikannya alasan untuk
bercerai berai, namun tugas yang sebenarnya adalah berinteraksi dengan
perbedaan tersebut sesuai dengan syariat Islam.
Syariat Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam implementasi
kehidupan beliau menggambarkan kepada kita urgensi persatuan umat pada sebuah
masyarakat yang majemuk. Urgensi tersebut secara langsung dilukiskan oleh
Rasulullah dalam bentuk aplikasi kongkrit sebagai langkah pertama beliau ketika
membangun ‘negara’ Madinah seperti pemersatuan kaum muhajirin dan kaum anshor
dengan beragam kemajemukan yang dimiliki kedua kaum tersebut, pembinaan dan
penataan kembali relasi antara umat Islam dan umat Yahudi yang berdomisili di
‘negara’ Madinah dan beberapa langkah lain yang dicatat oleh sejarah.
6
|
[1]- Muhammad
Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, Lebanon: Dar al-Fikr. Cet
ke- 2, 1999. Jilid 2 hal 9.
[2]- Abdurrahman
As-Suhaili, Al-Raudul Unuf, Kairo: Darul Kutub Al-Islamiyah, Cet ke-1 1967.
Jilid 2 hal 45.
[3]- Muhammad
Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, Lebanon: Dar al-Fikr. Cet
ke- 2, 1999. Jilid 2 hal 13.
[4]- Ibnu Hisyam,
As-Sirah An-Nabawiyah, Kairo: Dar al-Sahabah, Cet ke-1, 1995. Jilid 1 Hal 504.
[5]- Ibnu Hisyam,
As-Sirah An-Nabawiyah, Kairo: Dar al-Sahabah, Cet ke-1, 1995. Jilid 1 Hal 505.
[6] - Muhammad
Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Fiqh as-Sirah an-Nabawiyyah, Lebanon: Dar al-Fikr. Cet
ke- 2, 1999. Jilid 2 hal 165.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar