Malam ini Ghani pasti tak akan bisa tidur. Suara rerintikan hujan
yang berjatuhan memukul-mukul seng atap rumah kecilnya sangat bising dan
mengganggu jadwal tidurnya. Sebenarnya sangat tak pantas dikatakan jadwal. Dia
hanyalah seorang yang sangat sederhana dan tak butuh jadwal segala. Padahal
malam ini ia seharusnya tidur karena merasakan penat yang luar biasa. Bayangkan
saja. Seharian penuh dia keliling pinggiran kota ini mengumpulkan
rongsokan-rongsokan untuk ia jual dan ia sulap menjadi tiga piring nasi.
Sepiring untuknya, dua piring lagi untuk adik-adiknya si Sholeh dan Sholehah.
Bukan hanya suara bising itu yang mengganggunya. Seng-seng atap
rumahnya sudah banyak berlubang. Percikan air hujan juga ikut mengganggunya.
Tapi untungnya kedua adiknya sudah tidur sebelum hujan turun dan air hujan tak
mengenai mereka berdua. Jadi dia sedikit tenang dan baginya keadaan seperti ini
bukanlah masalah. Dia sudah sangat terbiasa dengan keadaan semacam ini.
Ghani merasa kurang nyaman dengan percikan-percikan air itu. Ia
beranjak menuju sudut rumahnya yang hanya berukuran tiga kali empat meter itu.
Diambilnya kursi tua peninggalan bapaknya, dia duduk di sana dan dia mulai
melamun mengingat ayah dan ibunya yang sudah tiga tahun lalu meninggalkannya.
Awalnya Ghani tak terima dengan takdir yang ia hadapi.
Ketika orang tuanya meninggal dunia dia baru berusia sepuluh tahun. Saat itu dia masih terlalu polos untuk menghidupi adik-adiknya. Jangankan adik-adiknya. Mencari makan untuk dirinya sendiri sungguh sangat sulit untuk anak berusia sepuluh tahun sepertinya. Tapi mungkin semua ini karena kucingnya yang selalu memberi inspirasi padanya. Dia pernah berpikir bagaimana kucingnya dan anak-anaknya bertahan hidup tanpa kerja di kantor atau setidaknya mengumpulkan barang rongsokan sepertinya? Padalah dia jarang memberi makan kucing-kucingnya Akhirnya dia tahu bahwa semuanya ada yang mengatur.
Ketika orang tuanya meninggal dunia dia baru berusia sepuluh tahun. Saat itu dia masih terlalu polos untuk menghidupi adik-adiknya. Jangankan adik-adiknya. Mencari makan untuk dirinya sendiri sungguh sangat sulit untuk anak berusia sepuluh tahun sepertinya. Tapi mungkin semua ini karena kucingnya yang selalu memberi inspirasi padanya. Dia pernah berpikir bagaimana kucingnya dan anak-anaknya bertahan hidup tanpa kerja di kantor atau setidaknya mengumpulkan barang rongsokan sepertinya? Padalah dia jarang memberi makan kucing-kucingnya Akhirnya dia tahu bahwa semuanya ada yang mengatur.
Ghani mengingat mengapa ayahnya dulu memberinya nama Abdul Ghani.
Kata ayahnya, dia memberinya nama itu supaya suatu saat nanti dia kaya raya. “Ghani…
ayah berharap kamu menjadi orang kaya yang dermawan. Makanya ayah beri kamu
nama Abdul Ghani” katanya dulu. Tapi Ghani hanya tertawa dengan keadaannya
kini. Menjadi orang kaya? Makan saja sulit. Katanya dalam hati.
Hujan masih belum reda. Sebenarnya Ghani merasa kesulitan untuk
tidur. Tapi suara bising hujan itu tak sanggup melawan rasa letihnya. Iapun
terlelap di kursi yang sedari tadi ia duduki. Suara dengkurannya cukup nyaring
dan air kental mulai mengalir dari mulutnya. Sungguh hari yang melelahkan
baginya.
********
Hujan sudah reda. Tak ada lagi suara bising rintik yang menghujam
seng-seng rumah mininya, dan yang ada hanya suara jangkrik-jangkrik yang
bersembunyi di belakang sampah yang bertumpukan di pinggir kali di samping
rumahnya. Ghani terbangun dari tidurnya. Bau busuk sampah-sampah itu sangat
menusuk. Tapi sebenarnya bukan bau busuk itu yang membuatnya bangun. Yang
membangunkannya adalah suara adzan dari mesjid tua di kampung Ghani.
Ia sudah terbiasa bangun ketika adzan berkumandang karena dulu ayah
dan ibunya selalu membangunkannya dan adik-adiknya ketika adzan shubuh. Mereka
juga selalu diajak sholat berjama’ah di rumah kecil itu. Ghani dan adik-adiknya
sampai sekarang masih takut ditusuk kemudian dipanggang di api besar. Begitulah
ayahnya menakut-nakuti mereka supaya mereka selalu sholat.
“Sholeh, Sholehah… Ayo bangun. Sudah shubuh.” kata Ghani dengan
nada yang cukup nyaring.
Kedua adiknya pun langsung bangun ketika mendengar suara Ghani.
Upacara harian ketika fajarpun berlangsung. Mereka melakukan sholat jama’ah
dengan sang imam di rumah itu, ustadz Abdul Ghani kemudian belajar mengaji
bersama ustadz muda itu. Ya. Tak berlebihan jika si Ghani dipanggil ustadz. Dialah
yang mengajarkan kedua adiknya membaca Al-Qur'an. Dia sendiri sudah lancar
sekali memaca Al-Qur'an meski usianya baru sepuluh tahun. Itu semua berkat ayah
dan ibunya. Meski keadaan ekonomi sangat menekan, mereka masih memperhatikan
agama ketiga anaknya. Ghani pun tak akan sanggup mengajikan adik-adiknya di
mesjid di kampungnya. Guru ngajinya meminta bayaran bulanan dari setiap
muridnya. Bagaimana dia bisa membayarnya?
Ghani langsung saja memakai pakaian dinasnya. Kaos putih compang
camping yang sudah kusut dan celana abu-abu yang juga sudah tua, lebih tua
daripada usianya. Dia ingat sekali bahwa celana itu memang benar-benar tua. Celana
itu adalah celana bapaknya ketika kecil, diberikan oleh sang kakek tercinta
yang berprofesi sebagai pemulung handal. Celana yang pantas dimasukkan ke museum
kota setempat.
Hari ini Ghani tak perlu lagi berkeliling mengelilingi kota untuk
mencari rongsokan-rongsokan. Jam sepuluh pagi di kantor daerah ada rapat pejabat
yang akan dihadiri ratusan orang dari berbagai daerah. Ya bukan dia yang mau
mengikuti rapat. Tapi dia senang sekali meski sebenarnya bukan dia yang akan
mengikuti pertemuan itu. Hampir bisa dipastikan kalau ada acara rapat besar
seperti ini akan banyak sisa makanan yang dibuang di tempat sampah depan
kantor.
Makanan enak kok dibuang-buang di tempat sampah. Diberikan ke saya
dan adik-adik saya kan lumayan.
Gumamnya dalam hati. Ghani yang masih polos suatu hari pernah berdo’a semoga di
kantor itu ada rapat tiap hari supaya sisa-sisa makanan juga banyak dan dia tak
perlu memulung setiap hari yang hasilnya tak jelas. Ghani… Ghani…
Ghani sudah standby di depan kantor. Dia tak akan bosan di sana
karena di sana sudah ada teman sebayanya yang juga ‘berprofesi’ sebagai
pemulung. Dia bisa bercanda dan tertawa bersama temannya itu. Awalnya Cuma Ghani
yang tahu bahwa banyak sisa makanan seusai rapat. Tapi dia kasihan melihat
temannya kelelahan berkeliling seharian mencari barang rongsokan. Apalagi dia
dan adik-adiknya tak akan sanggup menghabiskan makanan-makanan itu bertiga
karena sis makanan itu memang sangat banyak.
“Ghani…” Japra, teman dari kecil Ghani menyapanya. “Mereka lagi
rapat apa ya?” lanjutnya. Ghani mengenal Japra memang begitu. Jiwa ingin
tahunya sangat tinggi. Sehari saja bisa puluhan pertanyaan yang ia ajukan.
“Memangnya penting kita tahu?” ketus Ghani.
“Ya…. Nggak sih. Yang penting itu kan cuma makan kita. Tapi
barangkali mereka membicarakan kita yang melarat ini. Kapan ya mereka rapat
sama kita?” ujar si Japra sedikit berimajinasi tinggi.
“Rapat sama kita?” si Ghani benar-benar tidak percaya dengan apa
yang dikatakan Japra. Ia hanya tertawa terbahak-bahak sembari memegang perutnya
yang sakit karena tertawa. “Sudahlah, Pra… Jangan menghayal. Kita tunggu saja
makanannya”
“Uang mereka kan banyak. Mereka belikan apa ya?” tanya si Japra.
“Japra… Japra… tanya saja sendiri kalau mereka sudah keluar!” Ghani
mulai angkat suara. Bukan karena dia marah, tapi dia memang sering begitu
dengan si Japra.
“Tapi kok kata orang-orang mereka banyak yang korupsi ya? Apa uang
mereka kurang banyak?!” pertanyaan si Japra mulai mendalam.
“Em…. Iya ya. Uang puluhan juta kan bisa kita belikan nasi untuk bertahun-tahun.
Kok harus korupsi?” Ghani mulai terjerumus ke dalam pembicaraan Japra.
Perbincangan politik mereka berdua semakin seru saja. Topik pagi
ini adalah korupsi. Padahal mereka tak tahu persis apa itu korupsi. Tapi Ghani
dulu pernah bertanya kepada ayahnya apa itu korupsi. Sang ayah hanya
memberitahunya kalau korupsi itu adalah mengambil uang rakyat. “Berarti
mengambil uang kita, Yah?” kata Ghani dulu kepada ayahnya.
Setelah ayahnya dulu memberitahunya tentang korupsi pejabat, Ghani
langsung bercerita kepada teman sejolinya, Japra. Mereka berdua berjanji akan
membenci pejabat. Mereka menyangka bahwa semua pejabat sama, memakan uang
mereka meskipun mereka merasa tidak pernah uang mereka diambil pejabat karena
semua hasil kerja mereka, mereka belikan nasi dan kebutuhan sehari-hari mereka.
Pola pikir yang sangat polos dan sederhana.
Rapat pejabat sudah berakhir dan bincang-bincang politik antara Ghani
dan Japra juga berakhir. Ghani dan Japra berlari ke samping kantor biar tak ada
pejabat yang melihat mereka. Mereka sudah terlanjur membenci pejabat.
Seakan-akan mereka takut di hadapan pejabat. Kini mereka hanya menunggu Pak Jamal,
penjaga kantor membuang sisa-sisa makanan ke tempat sampah di depan kantor.
Dan akhirnya Pak Jamal membuang sisa-sisa makanan itu. “Wah… Banyak
sekali makanannya, Ghani” kata Japra senang. “Bisa buat makan besok lagi”
lanjutnya. Perkiraan Japra tak salah karena makanan itu memang sangat banyak.
“Pasti mereka sudah makan sebelum rapat” kata Ghani menebak.
“Apa mungkin mereka sengaja sisakan untuk kita?” pertanyaan Japra
mulai keluar lagi.
“Kenal kita saja tidak. Bagaimana mau menyisakan makanan untuk
kita? Tak mungkin lah…” Ghani masih menyimpan rasa benci kepada pejabat.
Mereka segera menghampiri tempat sampah kuning di depan kantor itu.
Si Japra mengeluarkan sisa-sisa makanannya dan si Ghani mengeluarkan sisa
minuman botolnya. Senyum mereka melebar karena makanan dan minuman itu sungguh
banyak sekali.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna hitam datang menuju arah
kantor. Perasaan Ghani dan Japra mulai tak enak. Mereka yakin mobil itu adalah
mobil pejabat yang mereka benci dan mereka takuti.
“Japra, ayo lari” bisik Ghani.
“Tak usah lari. Di sini saja” si Japra menolak tawaran Ghani sambil
menariknya supaya tidak lari meninggalkannya sendiri karena diapun sebenarnya
juga takut.
“Nanti dia ambil makanan ini. Dia kan pejabat” rupanya si Ghani
terlalu berburuk sangka kepada pejabat.
Mobil mewah itu sudah ada di hadapan mereka berdua. Jendela mobil
itu terbuka dan Ghani serta Japra sedikit aneh melihat wajah orang di dalamnya.
“Kok senyum ya?” tanya si Japra. “Gak tahu. Bukannya mereka benci kita?” Ghani
tambah bingung. Mereka berduapun terpaksa tersenyum meski terlihat rasa takut
di wajah mereka.
Ghani dan Japra tambah ketakutan ketika sesosok lelaki yang tadinya
duduk di mobil keluar menghampiri mereka berdua. “Wah… Benar kata Ghani.
Pejabat ini akan mengambil makanan sisa ini.” Japra mulai mengiyakan
prasangka buruk Ghani.
Si Japra benar-benar takut dan dia gemetar. Dia ulurkan plastik
besar yang berisi makanan sisa ke tangan pejabat itu. Entah seberapa besar rasa
takut Japra sampai dia salah tingkah begitu. Si Ghani tak separah itu. Dia
hanya menyembunyikan minuman sisa yang ia pegang di belakang badannya.
“Adik kenapa?” sapa pejabat itu dengan nada yang sangat halus. Dia
pasti bisa membaca raut wajah Japra dan Ghani yang sedang ketakutan. Makanya dia
tak angkat volume suaranya.
Ghani dan Japra hanya bisa diam. Mereka tak tahu harus berbicara
bagaimana. Tapi si Ghani benar-benar merasa bingung dengan pejabat itu. “Masa’
ada pejabat yang baik?!” katanya dalam hati.
Si Japra sudah tak kuat mengulurkan tangannya lebih lama lagi. Rasa
pegal mulai menyerang otot-otot tangannya dan ia turunkan plastik berisi
makanan itu.
Pajabat itu mulai mendekati Japra dan Ghani. Kedua tangannya
mendarat di kepala mereka berdua dan si Japrapun semakin gemetar. Senyum
pejabat itu membuat Ghani sedikit berubah pikiran. Tapi dia tak langsung
mengklaim bahwa pejabat itu baik. Yang ia pikirkan adalah bahwa lelaki itu
bukan seorang pejabat. Makanya dia mau senyum untuk mereka berdua.
Tanpa rasa takut lagi Ghani bertanya kepada lelaki itu, “Om bukan
pejabat ya?”
“Kelihatannya bagaimana?” pejabat itu balik bertanya.
Sejenak Ghani memandangi lelaki itu dari ujung kaki ke ujung
kepala. “Pakaian Om seperti pejabat. Tapi Om pasti bukan pejabat, tapi pengusaha.” Katanya setelah melakukan
prediksi.
“Saya pejabat.” Sahut pejabat itu. Dan sekarang Ghani mulai sadar
bahwa selama ini dia berburuk sangka kepada pejabat.
“Kok om baik?” si Ghani masih menyimpan sedikit rasa tidak percaya kepada
pejabat itu. Gambar buruk pejabat yang sudah lama ia simpan masih belum hilang
secara total.Pejabat itu hanya tersenyum. Namun senyum kali ini lebih lebar dan
akhirnya diapun tertawa mendengar omongan Ghani. sementara itu dia juga tertawa
melihat Japra yang tak henti gemetaran.
“Memangnya kalau pejabat tidak boleh baik?” tanya pejabat itu
dengan nada sedikit menyindir.
Japra mulai angkat suara. Dia sudah tak lagi gemetaran dan dia
mulai berani berbicara di hadapan pejabat itu. “Boleh, Om.”
“Makanya jangan berburuk sangka kepada orang lain.” Kata pejabat
itu dengan senyum yang masih lebar.
“Tapi kata ayah Ghani banyak pejabat yang korupsi. Korupsi kan
artinya mengambil uang rakyat.” Japra lebih berani lagi berargumen di depan
pejabat itu. Untuk kali ini dia tak lagi gemetar karena dia sudah yakin bahwa
pejabat itu memang benar-benar baik.
“Tapi banyak bukan berarti semuanya kan.” Kata pejabat itu
mengajarkan Ghani dan Japra. “Sudahlah. Hilangkan pikiran buruk kalian itu. Om
mau mengambil berkas Om yang ketinggalan di dalam. Oh ya. Nama adik-adik
siapa?” lanjut pejabat itu.
“Saya Japra dan dia teman saya, Ghani” si Japra ternyata kini lebih berani daripada Ghani. Padahal tadi dia
takut sekali melihat pejabat itu hingga gemetaran seakan-akan melihat malaikat
maut saja.
“Nama Om Abdullah” balas lelaki itu.
“Sama dengan nama ayah Ghani dong” kata Japra menyeletuk.
Ghani spontan teringat kepada ayahnya. Dia menghayal kalau saja
yang mengusap kepalanya tadi adalah ayahnya. Kali ini tak seperti tadi malam.
Tadi malam dia memang mengingat almarhum ayahnya tapi tanpa air mata sedangkan
sekarang butiran-butiran air mata Ghani mulai menetes. Japra pun merasa
bersalah karena telah menyinggung perasaan Ghani.
Tentu pak Abdullah merasa aneh dengan hal itu. Langsung saja dia
tanyakan kepada Ghani, “Kenapa, Ghani?”
Ghani hanya bisa menangis dan tak menjawab pertanyaan itu. Japra
langsung menjawabnya dengan nada penyesalan,”Ayah dan ibunya sudah meninggal
tiga tahun lalu”
Abdullah mendekati Ghani dan menghapus air matanya. Ghani merasa
lebih tenang dan semua prasangka buruknya terhadap pejabat kini hilang total.
Tapi ia lebih teringat kepada ayahnya. Air matanyapun semakin deras. Begitu
juga si Japra. Penyesalannya semakin besar, padahal dia tidak berniat
menyinggung Ghani sama sekali.
Setelah Abdullah yakin bahwa Ghani sudah tak menangis lagi, dia
langsung masuk ke dalam kantor mengambil berkasnya yang ketinggalan. Di tengah
perjalannya ke dalam kantor ia sempat berpikir menjadikan mereka berdua sebagai
anak angkat. Sudah lama anak satu-satunya meninggal dunia. Akhirnya dia
memutuskan untuk menguji mereka berdua. Bukan ujian pertanyaan, tapi dia
berniat menguji mereka kejujuran.
Sebelum Abdullah mengendarai mobil mewahnya dia sengaja menjatuhkan
dompet tebalnya di dekat Ghani dan Japra. Dia langsung naik ke dalam mobil dan
menjauh dari mereka berdua. Tapi dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya
dengan matang. Dia melihat ke kaca spion mobilnya, dan benar. Mereka
melambaikan tangan sambil berteriak kencang menandakan ingin mengembalikan dompet
itu.
Abdullah pun kembali ke arah mereka dengan senyuman bangga dan
senang.
“Dompet Om Abdullah jatuh” celetuk Ghani sambil mengulurkannya ke
tangan Abdullah.
“Om tadi sengaja menjatuhkan dompet Om untuk menguji kejujuran
kalian. Ternyata kalian jauh lebih jujur daripada anak-anak kota” sahut
Abdullah dengan senyum yang sangat bersahabat. “Kalian mau Om jadikan anak angkat?”
lanjutnya menjelaskan kepada mereka niat baiknya.
Si Ghani dan Japra saling menatap tak percaya dengan perkataan Abdullah.
“Tapi saya punya dua adik, Om” kata Ghani. “Saya juga punya satu adik, Om”
tambah Japra.
“Bagus dong. Berarti saya punya lima anak. Kalian mau, kan?”
rupanya Abdullah lebih senang daripada hanya memiliki dua anak angkat. Ghani
dan Japra hanya mengiyakan kata Abdullah. “Kalian tinggal di mana?” lanjutnya.
“Di dekat kali, Om” sahut Ghani.
“Kalau begitu biar Om antar kalian ke rumah kalian, kemudian kalian
ikut Om ke rumah dan kalian menjadi anak Om” ajak Abdullah.
Japra tak bisa percaya dengan nasibnya ini. Apalagi si Ghani.
Padahal dulu dia sangat membenci pejabat karena salah sangka. Ternyata sekarang
dia bahkan menjadi anak angkat seorang pejabat. Dia juga tak habis pikir dengan
namanya sendiri, Abdul Ghani. Dia ingat harapan ayahnya dulu, katanya dia
berharap Ghani menjadi orang kaya yang dermawan. Ternyata harapan itu tercapai
dan hidupnya kini berputar seratus delapan puluh derajat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar