Rabu, 29 Agustus 2012

Abdul Ghani (Cerita Pendek Pencuci Otak Yang Kotor)

Malam ini Ghani pasti tak akan bisa tidur. Suara rerintikan hujan yang berjatuhan memukul-mukul seng atap rumah kecilnya sangat bising dan mengganggu jadwal tidurnya. Sebenarnya sangat tak pantas dikatakan jadwal. Dia hanyalah seorang yang sangat sederhana dan tak butuh jadwal segala. Padahal malam ini ia seharusnya tidur karena merasakan penat yang luar biasa. Bayangkan saja. Seharian penuh dia keliling pinggiran kota ini mengumpulkan rongsokan-rongsokan untuk ia jual dan ia sulap menjadi tiga piring nasi. Sepiring untuknya, dua piring lagi untuk adik-adiknya si Sholeh dan Sholehah.
Bukan hanya suara bising itu yang mengganggunya. Seng-seng atap rumahnya sudah banyak berlubang. Percikan air hujan juga ikut mengganggunya. Tapi untungnya kedua adiknya sudah tidur sebelum hujan turun dan air hujan tak mengenai mereka berdua. Jadi dia sedikit tenang dan baginya keadaan seperti ini bukanlah masalah. Dia sudah sangat terbiasa dengan keadaan semacam ini.
Ghani merasa kurang nyaman dengan percikan-percikan air itu. Ia beranjak menuju sudut rumahnya yang hanya berukuran tiga kali empat meter itu. Diambilnya kursi tua peninggalan bapaknya, dia duduk di sana dan dia mulai melamun mengingat ayah dan ibunya yang sudah tiga tahun lalu meninggalkannya.
Awalnya Ghani tak terima dengan takdir yang ia hadapi.
Ketika orang tuanya meninggal dunia dia baru berusia sepuluh tahun. Saat itu dia masih terlalu polos untuk menghidupi adik-adiknya. Jangankan adik-adiknya. Mencari makan untuk dirinya sendiri sungguh sangat sulit untuk anak berusia sepuluh tahun sepertinya. Tapi mungkin semua ini karena kucingnya yang selalu memberi inspirasi padanya. Dia pernah berpikir bagaimana kucingnya dan anak-anaknya bertahan hidup tanpa kerja di kantor atau setidaknya mengumpulkan barang rongsokan sepertinya? Padalah dia jarang memberi makan kucing-kucingnya Akhirnya dia tahu bahwa semuanya ada yang mengatur.
Ghani mengingat mengapa ayahnya dulu memberinya nama Abdul Ghani. Kata ayahnya, dia memberinya nama itu supaya suatu saat nanti dia kaya raya. “Ghani… ayah berharap kamu menjadi orang kaya yang dermawan. Makanya ayah beri kamu nama Abdul Ghani” katanya dulu. Tapi Ghani hanya tertawa dengan keadaannya kini. Menjadi orang kaya? Makan saja sulit. Katanya dalam hati.
Hujan masih belum reda. Sebenarnya Ghani merasa kesulitan untuk tidur. Tapi suara bising hujan itu tak sanggup melawan rasa letihnya. Iapun terlelap di kursi yang sedari tadi ia duduki. Suara dengkurannya cukup nyaring dan air kental mulai mengalir dari mulutnya. Sungguh hari yang melelahkan baginya.
********
Hujan sudah reda. Tak ada lagi suara bising rintik yang menghujam seng-seng rumah mininya, dan yang ada hanya suara jangkrik-jangkrik yang bersembunyi di belakang sampah yang bertumpukan di pinggir kali di samping rumahnya. Ghani terbangun dari tidurnya. Bau busuk sampah-sampah itu sangat menusuk. Tapi sebenarnya bukan bau busuk itu yang membuatnya bangun. Yang membangunkannya adalah suara adzan dari mesjid tua di kampung Ghani.
Ia sudah terbiasa bangun ketika adzan berkumandang karena dulu ayah dan ibunya selalu membangunkannya dan adik-adiknya ketika adzan shubuh. Mereka juga selalu diajak sholat berjama’ah di rumah kecil itu. Ghani dan adik-adiknya sampai sekarang masih takut ditusuk kemudian dipanggang di api besar. Begitulah ayahnya menakut-nakuti mereka supaya mereka selalu sholat.
“Sholeh, Sholehah… Ayo bangun. Sudah shubuh.” kata Ghani dengan nada yang cukup nyaring.
Kedua adiknya pun langsung bangun ketika mendengar suara Ghani. Upacara harian ketika fajarpun berlangsung. Mereka melakukan sholat jama’ah dengan sang imam di rumah itu, ustadz Abdul Ghani kemudian belajar mengaji bersama ustadz muda itu. Ya. Tak berlebihan jika si Ghani dipanggil ustadz. Dialah yang mengajarkan kedua adiknya membaca Al-Qur'an. Dia sendiri sudah lancar sekali memaca Al-Qur'an meski usianya baru sepuluh tahun. Itu semua berkat ayah dan ibunya. Meski keadaan ekonomi sangat menekan, mereka masih memperhatikan agama ketiga anaknya. Ghani pun tak akan sanggup mengajikan adik-adiknya di mesjid di kampungnya. Guru ngajinya meminta bayaran bulanan dari setiap muridnya. Bagaimana dia bisa membayarnya?
Ghani langsung saja memakai pakaian dinasnya. Kaos putih compang camping yang sudah kusut dan celana abu-abu yang juga sudah tua, lebih tua daripada usianya. Dia ingat sekali bahwa celana itu memang benar-benar tua. Celana itu adalah celana bapaknya ketika kecil, diberikan oleh sang kakek tercinta yang berprofesi sebagai pemulung handal. Celana yang pantas dimasukkan ke museum kota setempat.
Hari ini Ghani tak perlu lagi berkeliling mengelilingi kota untuk mencari rongsokan-rongsokan. Jam sepuluh pagi di kantor daerah ada rapat pejabat yang akan dihadiri ratusan orang dari berbagai daerah. Ya bukan dia yang mau mengikuti rapat. Tapi dia senang sekali meski sebenarnya bukan dia yang akan mengikuti pertemuan itu. Hampir bisa dipastikan kalau ada acara rapat besar seperti ini akan banyak sisa makanan yang dibuang di tempat sampah depan kantor.
Makanan enak kok dibuang-buang di tempat sampah. Diberikan ke saya dan adik-adik saya kan lumayan. Gumamnya dalam hati. Ghani yang masih polos suatu hari pernah berdo’a semoga di kantor itu ada rapat tiap hari supaya sisa-sisa makanan juga banyak dan dia tak perlu memulung setiap hari yang hasilnya tak jelas. Ghani… Ghani…
Ghani sudah standby di depan kantor. Dia tak akan bosan di sana karena di sana sudah ada teman sebayanya yang juga ‘berprofesi’ sebagai pemulung. Dia bisa bercanda dan tertawa bersama temannya itu. Awalnya Cuma Ghani yang tahu bahwa banyak sisa makanan seusai rapat. Tapi dia kasihan melihat temannya kelelahan berkeliling seharian mencari barang rongsokan. Apalagi dia dan adik-adiknya tak akan sanggup menghabiskan makanan-makanan itu bertiga karena sis makanan itu memang sangat banyak.
“Ghani…” Japra, teman dari kecil Ghani menyapanya. “Mereka lagi rapat apa ya?” lanjutnya. Ghani mengenal Japra memang begitu. Jiwa ingin tahunya sangat tinggi. Sehari saja bisa puluhan pertanyaan yang ia ajukan.
“Memangnya penting kita tahu?” ketus Ghani.
“Ya…. Nggak sih. Yang penting itu kan cuma makan kita. Tapi barangkali mereka membicarakan kita yang melarat ini. Kapan ya mereka rapat sama kita?” ujar si Japra sedikit berimajinasi tinggi.
“Rapat sama kita?” si Ghani benar-benar tidak percaya dengan apa yang dikatakan Japra. Ia hanya tertawa terbahak-bahak sembari memegang perutnya yang sakit karena tertawa. “Sudahlah, Pra… Jangan menghayal. Kita tunggu saja makanannya”
“Uang mereka kan banyak. Mereka belikan apa ya?” tanya si Japra.
“Japra… Japra… tanya saja sendiri kalau mereka sudah keluar!” Ghani mulai angkat suara. Bukan karena dia marah, tapi dia memang sering begitu dengan si Japra.
“Tapi kok kata orang-orang mereka banyak yang korupsi ya? Apa uang mereka kurang banyak?!” pertanyaan si Japra mulai mendalam.
“Em…. Iya ya. Uang puluhan juta kan bisa kita belikan nasi untuk bertahun-tahun. Kok harus korupsi?” Ghani mulai terjerumus ke dalam pembicaraan Japra.
Perbincangan politik mereka berdua semakin seru saja. Topik pagi ini adalah korupsi. Padahal mereka tak tahu persis apa itu korupsi. Tapi Ghani dulu pernah bertanya kepada ayahnya apa itu korupsi. Sang ayah hanya memberitahunya kalau korupsi itu adalah mengambil uang rakyat. “Berarti mengambil uang kita, Yah?” kata Ghani dulu kepada ayahnya.
Setelah ayahnya dulu memberitahunya tentang korupsi pejabat, Ghani langsung bercerita kepada teman sejolinya, Japra. Mereka berdua berjanji akan membenci pejabat. Mereka menyangka bahwa semua pejabat sama, memakan uang mereka meskipun mereka merasa tidak pernah uang mereka diambil pejabat karena semua hasil kerja mereka, mereka belikan nasi dan kebutuhan sehari-hari mereka. Pola pikir yang sangat polos dan sederhana.
Rapat pejabat sudah berakhir dan bincang-bincang politik antara Ghani dan Japra juga berakhir. Ghani dan Japra berlari ke samping kantor biar tak ada pejabat yang melihat mereka. Mereka sudah terlanjur membenci pejabat. Seakan-akan mereka takut di hadapan pejabat. Kini mereka hanya menunggu Pak Jamal, penjaga kantor membuang sisa-sisa makanan ke tempat sampah di depan kantor.
Dan akhirnya Pak Jamal membuang sisa-sisa makanan itu. “Wah… Banyak sekali makanannya, Ghani” kata Japra senang. “Bisa buat makan besok lagi” lanjutnya. Perkiraan Japra tak salah karena makanan itu memang sangat banyak.
“Pasti mereka sudah makan sebelum rapat” kata Ghani menebak.
“Apa mungkin mereka sengaja sisakan untuk kita?” pertanyaan Japra mulai keluar lagi.
“Kenal kita saja tidak. Bagaimana mau menyisakan makanan untuk kita? Tak mungkin lah…” Ghani masih menyimpan rasa benci kepada pejabat.
Mereka segera menghampiri tempat sampah kuning di depan kantor itu. Si Japra mengeluarkan sisa-sisa makanannya dan si Ghani mengeluarkan sisa minuman botolnya. Senyum mereka melebar karena makanan dan minuman itu sungguh banyak sekali.
Tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna hitam datang menuju arah kantor. Perasaan Ghani dan Japra mulai tak enak. Mereka yakin mobil itu adalah mobil pejabat yang mereka benci dan mereka takuti.
“Japra, ayo lari” bisik Ghani.
“Tak usah lari. Di sini saja” si Japra menolak tawaran Ghani sambil menariknya supaya tidak lari meninggalkannya sendiri karena diapun sebenarnya juga takut.
“Nanti dia ambil makanan ini. Dia kan pejabat” rupanya si Ghani terlalu berburuk sangka kepada pejabat.
Mobil mewah itu sudah ada di hadapan mereka berdua. Jendela mobil itu terbuka dan Ghani serta Japra sedikit aneh melihat wajah orang di dalamnya. “Kok senyum ya?” tanya si Japra. “Gak tahu. Bukannya mereka benci kita?” Ghani tambah bingung. Mereka berduapun terpaksa tersenyum meski terlihat rasa takut di wajah mereka.
Ghani dan Japra tambah ketakutan ketika sesosok lelaki yang tadinya duduk di mobil keluar menghampiri mereka berdua. “Wah… Benar kata Ghani. Pejabat ini akan mengambil makanan sisa ini.” Japra mulai mengiyakan prasangka buruk Ghani.
Si Japra benar-benar takut dan dia gemetar. Dia ulurkan plastik besar yang berisi makanan sisa ke tangan pejabat itu. Entah seberapa besar rasa takut Japra sampai dia salah tingkah begitu. Si Ghani tak separah itu. Dia hanya menyembunyikan minuman sisa yang ia pegang di belakang badannya.
“Adik kenapa?” sapa pejabat itu dengan nada yang sangat halus. Dia pasti bisa membaca raut wajah Japra dan Ghani yang sedang ketakutan. Makanya dia tak angkat volume suaranya.
Ghani dan Japra hanya bisa diam. Mereka tak tahu harus berbicara bagaimana. Tapi si Ghani benar-benar merasa bingung dengan pejabat itu. “Masa’ ada pejabat yang baik?!” katanya dalam hati.
Si Japra sudah tak kuat mengulurkan tangannya lebih lama lagi. Rasa pegal mulai menyerang otot-otot tangannya dan ia turunkan plastik berisi makanan itu.
Pajabat itu mulai mendekati Japra dan Ghani. Kedua tangannya mendarat di kepala mereka berdua dan si Japrapun semakin gemetar. Senyum pejabat itu membuat Ghani sedikit berubah pikiran. Tapi dia tak langsung mengklaim bahwa pejabat itu baik. Yang ia pikirkan adalah bahwa lelaki itu bukan seorang pejabat. Makanya dia mau senyum untuk mereka berdua.
Tanpa rasa takut lagi Ghani bertanya kepada lelaki itu, “Om bukan pejabat ya?”
“Kelihatannya bagaimana?” pejabat itu balik bertanya.
Sejenak Ghani memandangi lelaki itu dari ujung kaki ke ujung kepala. “Pakaian Om seperti pejabat. Tapi Om pasti bukan pejabat,  tapi pengusaha.” Katanya setelah melakukan prediksi.
“Saya pejabat.” Sahut pejabat itu. Dan sekarang Ghani mulai sadar bahwa selama ini dia berburuk sangka kepada pejabat.
“Kok om baik?” si Ghani masih menyimpan sedikit rasa tidak percaya kepada pejabat itu. Gambar buruk pejabat yang sudah lama ia simpan masih belum hilang secara total.Pejabat itu hanya tersenyum. Namun senyum kali ini lebih lebar dan akhirnya diapun tertawa mendengar omongan Ghani. sementara itu dia juga tertawa melihat Japra yang tak henti gemetaran.
“Memangnya kalau pejabat tidak boleh baik?” tanya pejabat itu dengan nada sedikit menyindir.
Japra mulai angkat suara. Dia sudah tak lagi gemetaran dan dia mulai berani berbicara di hadapan pejabat itu. “Boleh, Om.”
“Makanya jangan berburuk sangka kepada orang lain.” Kata pejabat itu dengan senyum yang masih lebar.
“Tapi kata ayah Ghani banyak pejabat yang korupsi. Korupsi kan artinya mengambil uang rakyat.” Japra lebih berani lagi berargumen di depan pejabat itu. Untuk kali ini dia tak lagi gemetar karena dia sudah yakin bahwa pejabat itu memang benar-benar baik.
“Tapi banyak bukan berarti semuanya kan.” Kata pejabat itu mengajarkan Ghani dan Japra. “Sudahlah. Hilangkan pikiran buruk kalian itu. Om mau mengambil berkas Om yang ketinggalan di dalam. Oh ya. Nama adik-adik siapa?” lanjut pejabat itu.
“Saya Japra dan dia teman saya, Ghani” si Japra ternyata kini  lebih berani daripada Ghani. Padahal tadi dia takut sekali melihat pejabat itu hingga gemetaran seakan-akan melihat malaikat maut saja.
“Nama Om Abdullah” balas lelaki itu.
“Sama dengan nama ayah Ghani dong” kata Japra menyeletuk.
Ghani spontan teringat kepada ayahnya. Dia menghayal kalau saja yang mengusap kepalanya tadi adalah ayahnya. Kali ini tak seperti tadi malam. Tadi malam dia memang mengingat almarhum ayahnya tapi tanpa air mata sedangkan sekarang butiran-butiran air mata Ghani mulai menetes. Japra pun merasa bersalah karena telah menyinggung perasaan Ghani.
Tentu pak Abdullah merasa aneh dengan hal itu. Langsung saja dia tanyakan kepada Ghani, “Kenapa, Ghani?”
Ghani hanya bisa menangis dan tak menjawab pertanyaan itu. Japra langsung menjawabnya dengan nada penyesalan,”Ayah dan ibunya sudah meninggal tiga tahun lalu”
Abdullah mendekati Ghani dan menghapus air matanya. Ghani merasa lebih tenang dan semua prasangka buruknya terhadap pejabat kini hilang total. Tapi ia lebih teringat kepada ayahnya. Air matanyapun semakin deras. Begitu juga si Japra. Penyesalannya semakin besar, padahal dia tidak berniat menyinggung Ghani sama sekali.
Setelah Abdullah yakin bahwa Ghani sudah tak menangis lagi, dia langsung masuk ke dalam kantor mengambil berkasnya yang ketinggalan. Di tengah perjalannya ke dalam kantor ia sempat berpikir menjadikan mereka berdua sebagai anak angkat. Sudah lama anak satu-satunya meninggal dunia. Akhirnya dia memutuskan untuk menguji mereka berdua. Bukan ujian pertanyaan, tapi dia berniat menguji mereka kejujuran.
Sebelum Abdullah mengendarai mobil mewahnya dia sengaja menjatuhkan dompet tebalnya di dekat Ghani dan Japra. Dia langsung naik ke dalam mobil dan menjauh dari mereka berdua. Tapi dia sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Dia melihat ke kaca spion mobilnya, dan benar. Mereka melambaikan tangan sambil berteriak kencang menandakan ingin mengembalikan dompet itu.
Abdullah pun kembali ke arah mereka dengan senyuman bangga dan senang.
“Dompet Om Abdullah jatuh” celetuk Ghani sambil mengulurkannya ke tangan Abdullah.
“Om tadi sengaja menjatuhkan dompet Om untuk menguji kejujuran kalian. Ternyata kalian jauh lebih jujur daripada anak-anak kota” sahut Abdullah dengan senyum yang sangat bersahabat. “Kalian mau Om jadikan anak angkat?” lanjutnya menjelaskan kepada mereka niat baiknya.
Si Ghani dan Japra saling menatap tak percaya dengan perkataan Abdullah. “Tapi saya punya dua adik, Om” kata Ghani. “Saya juga punya satu adik, Om” tambah Japra.
“Bagus dong. Berarti saya punya lima anak. Kalian mau, kan?” rupanya Abdullah lebih senang daripada hanya memiliki dua anak angkat. Ghani dan Japra hanya mengiyakan kata Abdullah. “Kalian tinggal di mana?” lanjutnya.
“Di dekat kali, Om” sahut Ghani.
“Kalau begitu biar Om antar kalian ke rumah kalian, kemudian kalian ikut Om ke rumah dan kalian menjadi anak Om” ajak Abdullah.
Japra tak bisa percaya dengan nasibnya ini. Apalagi si Ghani. Padahal dulu dia sangat membenci pejabat karena salah sangka. Ternyata sekarang dia bahkan menjadi anak angkat seorang pejabat. Dia juga tak habis pikir dengan namanya sendiri, Abdul Ghani. Dia ingat harapan ayahnya dulu, katanya dia berharap Ghani menjadi orang kaya yang dermawan. Ternyata harapan itu tercapai dan hidupnya kini berputar seratus delapan puluh derajat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar