Cinta adalah salah satu sifat yang difitrahkan oleh Allah dalam
diri manusia. Sejarah cinta manusia berawal sejalan dengan berawalnya sejarah
manusia itu sendiri, yaitu ketika nabi Adam as dan Hawa diciptakan. Dari awal
masa kehidupan manusia memang sudah muncul berbagai macam motif cinta yang
berlaku dalam kehidupan manusia sebagaimana telah tergambar dalam kisah Habil
dan Qobil yang memiliki dua motif cinta yang sangat kontras. Habil dengan motif
mahabbah fillaah, dan Qobil yang lebih mengedepankan motif cinta duniawi.
Agama Islam yang memperhatikan kehidupan manusia dan makhluk hidup
dari segala dimensinya tentunya juga sangat memperhatikan problematika cinta
yang menjadi tabiat manusia. Islam juga memiliki koridor dan aturan main dalam
mencintai sesuatu. Dan secara global
yang menjadi tuntutan itu adalah mencintai
karena Allah atau yang sering kita kenal dengan sebutan mahabbah fillaah.
Motif-motif cinta itu juga tak lain adalah merupakan level-level
tersendiri yang membedakan nilai cinta yang ada dalam hati atau jiwa manusia. Imam
Ibnu al-Qoyyim menyebutkan beberapa jenis, level dan motif yang bisa menjadi
dasar suatu cinta dan mahabbah fillaahlah yang menempati nilai dan level
tertinggi dalam mencintai sesuatu[1].
Hampir semua jenis dan motif cinta hanya menjanjikan benefit
materialis duniawi. Tapi tidak dengan mahabbah fillaah. Mahabbah fillaah selain
memberikan benefit duniawi juga menjanjikan benefit ukhrawi sebagaimana telah
diterangkan oleh Rasulullah dalam hadits shohih beliau yang diriwayatkan oleh
beberapa kodifikator hadits nabawi seperti Imam Malik, Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Hibban, Imam Baihaqi dan beberapa kodifikator
yang lainnya[2].
Faktor inilah yang menjadikan agama Islam sangat meganjurkan para
pemeluknya untuk menggapai gelar pecinta fillaah. Tapi yang menjadi
problematika adalah perkembangan zaman yang membawa dekadensi berbagai aspek
kehidupan masyarakat muslim membuat mahabbah fillaah hampir tak memiliki ‘porsi’
dalam kehidupan seorang muslim karena yang paling ditonjolkan oleh musuh-musuh
Islam seperti misionaris dan lainnya adalah materialisme sehingga muncullah
istilah pragmatisme, rasionalisme, eksistensisme dan berbagai macam aliran
pemikiran yang mengemban banyak misi yang salah satunya menghapus kata mahabbah
fillaah dari kamus muslimin.
Melalui
artikel ini penulis mengajak pembaca dan kaum muslimin secara umum untuk
bersama-sama lebih mengenal mahabbah fillaah dan kembali menghidupkannya di
tengah-tengah masyarakat muslim.
MAHABBAH FILLAAH DALAM PERSPEKTIF
SYARI’AT DAN INDIKASINYA
Mahabbah fillaah – sebagaimana telah disinggung di atas – memiliki banyak
keistimewaan dan kelebihan dalam perspektif Islam. Dalam hal ini Rasulullah
bersabda bahwa mahabbah fillaah adalah salah satu hal yang bisa memberikan
kenikmatan iman kepada seorang muslim[3]. Di hadits lain beliau
menyatakan bahwa salah satu superioritas mahabbah fillaah adalah janji Allah
untuk mendapatkan naungan di padang mahsyar[4].
Imam Muslim meriwayatkan
sebuah hadits yang juga menyinggung keutamaan mahabbah fillaah ini. Dalam
hadits itu disebutkan bahwa mencintai sesuatu atau seseorang karena Allah
adalah salah satu jalan di mana Allah akan memberikan cintaNya kepada sang
pecinta fillaah[5].
Masih dalam hadits nabi. Rasulullah bersabda bahwa seseorang itu akan bersama
dengan orang yang ia cintai[6].
Secara otomatis pecinta fillaah juga akan mendapatkan hasil ini nanti di
akhirat setelah di dunia ini.
Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah menyebutkan beberapa macam motif yang
mendasari cinta seorang manusia. Di antara macam-macam yang beliau sebutkan, mahabbah
fillaahlah yang menempati posisi pertama. Menurut beliau, mahabbah fillaah akan
melahirkan cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasulullah, mahabbah
fillaah juga akan menghasilkan kecintaan kita kepada Allah dan RasulNya[7].
Oleh karena keutamaan-keutamaan inilah selayaknya bagi muslimin
untuk berlomba-lomba mencapai cinta sang Pencipta melalui jalan mahabbah
fillaah. Imam Malik bin Anas (salah satu pendiri madzhab fiqih) tidak hanya
menganggap mahabbah fillaah ini sebagai kelayakan, namun beliu menganggap
mahabbah fillaah ini adalah sebuah kewajiban dalam agama Islam.[8]
Rasulullah sebagai panutan
bagi umat Islam telah mengajarkan kita bagaimana mencintai sesuatu atau
seseorang fillaah. Dalam banyak kesempatan beliau mengindikasikan ‘prosedur-prosedur’
yang harus dilalui oleh seorang muslim dalam cintanya itu.
Seorang yang mencintai
orang lain karena Allah akan menghilangkan semua ukuran materialisme dan duniawi.
Satu-satunya yang menjadi barometer adalah karena Allah (lillah). Dalam hal ini
Rasulullah bersabda ketika menjelaskan tujuh golongan orang yang mendapatkan
naungan dari Allah di padang mahsyar: “Dua orang lelaki yang saling mencintai
karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah”. Istilah ‘berkumpul
dan berpisah karena Allah’ sebenarnya bukanlah batasan paten mengenai tuntutan
para pecinta fillaah. Kedua pekerjaan tersebut bisa dan perlu dianalogikan kepada
pekerjaan-pekerjaan dan tindakan lainnya sehingga mahabbah fillaah menjadikan
semua tingkah laku dan perbuatan sang pecinta hanya muncul karena mencari ridla
Allah.
Oleh karena hal inilah cinta
yang bermotifkan fillaah tidak akan pernah menghalangi sang pecinta untuk
menegakkan dan memilih syari’at Islam ketika orang yang ia cintai melenceng
dari koridor Islam. Bukan hanya sekedar memilih syari’at Islam, tapi mahabbah
fillaah ini juga tidak menghalangi sang pecinta untuk menyalahkan orang yang ia
cintai ketika posisinya bertolak belakang dengan ajaran Islam.
Rasulullahlah sampel
pertama yang bisa dijadikan contoh kongkrit mengenai hal ini. Usamah bin Zaid seorang
sahabat yang dikenal sebagai orang yang dicintai Rasulullah (Hibbu Rosulillah)
pernah membela seorang wanita dari sukunya yang telah melakukan pencurian. Mengetahui
hal ini Rasulullah marah dan cintanya terhadap Usamah tidak menghalangi beliau
untuk menyalahkan bahkan memarahinya karena itulah hakikat mahabbah fillaah. Dan pada kesempatan inilah beliau
mengucapkan kata-kata beliau yang sangat terkenal: “Seandainya fulanah binti
Muhammad mencuri, maka saya yang akan memotong tangannya”[9]
Dalam hadits di atas sebenarnya bisa kita ambil dua contoh dari
Rasulullah. Cinta beliau kepada puteri beliau, Fathimah dan cinta beliau kepada
Usamah bin Zaid. Tapi kecintaan beliau kepada kedua-duanya tak pernah menjadi
penghalang untuk tetap menegakkan hukum yang telah Allah gariskan bagi manusia.
Salah satu indikasi lain yang telah Rasulullah tunjukkan adalah saling
menasehati dalam kebaikan. Pada suatu kesempatan Rasulullah SAW mengungkapkan
kecintaan beliau kepada seorang sahabat yang dikenal sebagai sahabat yang qori’
yaitu Mu’adz bin Jabal, beliau berkata, “Wahai Mu’adz, sesungguhnya aku
mencintaimu” Mu’adz juga mengutarakan kecintaannya kepada Rasulullah SAW.
Rasulullah pun menunjukkan salah satu tuntutan bagi pecinta fillaah dan beliau
berkata, “Aku berwasiat kepadamu wahai Mu’adz, jangan tinggalkan setiap selesai
sholat kamu mengatakan (Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni
‘ibadatika)”[10].
Indikasi ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-‘Ashr, “… dan
saling menasehati dengan kebaikan dan saling menasehati dengan kesabaran”.
Imam Abu Tholib al-Makki menyebutkan beberapa syarat yang harus
dipenuhi oleh orang-orang yang mengaku cinta fillaah, antara lain cinta
tersebut bukanlah karena motif kemaksiatan, dorongan cinta yang mendasari
mahabbah fillaah itu juga bukanlah perkara duniawi, cinta yang tumbuh juga
bukan karena sejalannya keinginannya dengan keinginan orang yang ia cintai,
bukan pula karena kemaslahatan yang diinginkan dengan cinta itu melainkan
kemaslahatan religius. Syarat lain yang harus ditempuhnya – masih dari syarat
yang disebutkan Al-Makki – adalah cinta itu bukan karena perbuatan baik ataupun
jasa yang telah ia terima dari orang yang ia cintai[11].
Imam
Abdullah al-Haddad menjelaskan bahwa salah satu tanda bahwa seseorang itu
mencintai karena Allah, adalah dia mencintai orang yang ia cintai karena orang
itu mencintai Allah atau berada dalam ketaatan kepada Allah. Selain itu, dia
mencintai orang itu juga karena dia bisa membantunya melaksanakaan ibadah dan
ketaatan kepada Allah SWT[12].
MENGGAPAI GELAR PECINTA FILLAAH
Melihat posisi dan
keutamaan mahabbah fillaah dalam agama Islam sebagaimana telah diuraikan di
atas, merupakan suatu kepatutan dan bahkan keharusan bagi seorang muslim untuk
mengevaluasi motif cinta yang telah ia jalani selama ini. Perlu diadakan koreksi dan bahkan
rekonstruksi terhadap motif cinta yang melenceng dari mahabbah fillaah.
Salah satu jalan menuju sistem cinta yang sempurna ini adalah
membangun kesadaran diri bahwa hanya mahabbah fillaahlah yang akan bertahan
hingga hari akhir dan hingga di syurga nanti sebagaimana telah dilontarkan oleh
Rasulullah. Kesadaran inilah yang sebenarnya menjadi dasar utama dalam misi
rekonstruksi sistem cinta seorang muslim menuju mahabbah fillaah.
Hal berikutnya yang juga harus terealisasikan adalah menanggalkan
semua atribut materialisme dan duniawi dari jalan cinta. Semua aspek dan
dimensi cinta yang dijalani oleh muslim tersebut harus bermuara pada Allah dan
syari’atNya, dan itulah jalan cinta yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada
kita dimana yang menjadi ukuran dalam cinta beliau adalah syari’at Allah
sehingga tak akan ada yang menjadi penghalang dalam implementasi hukum Allah
yang telah ditentukan.
Langkah kongkrit lain yang juga harus ditempuh oleh pecinta fillaah
adalah berusaha merealisasikan semua tuntutan yang diarahkan kepadanya sebagai
pecinta fillaah. Aplikasi sub-sub mahabbah fillaah yang menjadi keniscayaan
dalam perjalanan cinta harus tercapai dengan baik.
Hal penting yang sering diabaikan oleh para pecinta fillaah adalah memberitahukan
orang yang ia cintai bahwa dia memang benar-benar mencintainya fillaah. Dalam
hal ini seorang sahabat pernah mengabarkan Rasulullah SAW tentang kecintaannya
kepada seorang sahabatnya. Rasulullah pun bertanya apakah ia telah
memberitahunya. Si pecinta fillaah tersebut menjawab tidak dan Rasulullah pun
memerintahkannya untuk mengabarkan hal itu kepada orang yang ia cintai[13].
Jika seorang muslim sudah mencapai level mahabbah yang benar-benar
fillaah, maka cintanya itu akan membawa nilai positif bagi dirinya,
masyarakatnya dan bahkan bagi kaum muslimin. Dan apabila masyarakat muslim
sudah membudayakan mahabbah fillaah sehingga motif cinta ini mengakar dalam
komunitas muslim, maka janji Allah untuk mencintai para pecinta fillaah akan
terpenuhi dan secara otomatis akan terwujudlah masyarakat yang harmonis dan
diridlai oleh Allah dan RasulNya.
[1] - Muhammad
ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah, Zad al-ma’ad, Lebanon: Muassasat
al-Risalah, Cet. Ke-27, jilid ke-4 hal 246.
[2] - HR. Bukhari
Hadits No (260), Imam Malik No (1709), Tirmidzi No (2313), Ibnu HibbanNo (4563),
Baihaqi No (5186)
[3] - HR Muslim No
(60)
[4] - HR. Bukhari
Hadits No (260), Imam Malik No (1709), Tirmidzi No (2313), Ibnu HibbanNo
(4563), Baihaqi No (5186)
[7] - Muhammad
ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah, Zad al-ma’ad, Lebanon: Muassasat
al-Risalah, Cet. Ke-27, jilid ke-4 hal 246.
[8] - Yahya bin
Syarof, Syarh Shohih Muslim, Kairo: AL-Mathba’ah al-Mishriyyah, Cetakan
pertama, jilid ke-1 hal 122.
[9] - HR Bukhori
No (3216) HR Muslim No (4505)
[10] - HR Ahmad No
(22119)
[11] - Abu Tholin
al-Makki, Qut al-Qulub, Kairo:
AL-Mathba’ah al-Mishriyyah, Cetakan pertama, jilid ke-1 hal 122.
[12] - Abdullah
al-Haddad, An-Nashoih ad-Diniyyah, Tarim: Dar al-Hawi, Cet. Ke-2, jilid pertama
hal 304.
[13] - Musnad Ahmad
No (12590), Musnad Abi Ya’la No (3348)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar