Rabu, 29 Agustus 2012

Menguak Tabir Mahabbah Fillah


PENDAHULUAN
Cinta adalah salah satu sifat yang difitrahkan oleh Allah dalam diri manusia. Sejarah cinta manusia berawal sejalan dengan berawalnya sejarah manusia itu sendiri, yaitu ketika nabi Adam as dan Hawa diciptakan. Dari awal masa kehidupan manusia memang sudah muncul berbagai macam motif cinta yang berlaku dalam kehidupan manusia sebagaimana telah tergambar dalam kisah Habil dan Qobil yang memiliki dua motif cinta yang sangat kontras. Habil dengan motif mahabbah fillaah, dan Qobil yang lebih mengedepankan motif cinta duniawi.
Agama Islam yang memperhatikan kehidupan manusia dan makhluk hidup dari segala dimensinya tentunya juga sangat memperhatikan problematika cinta yang menjadi tabiat manusia. Islam juga memiliki koridor dan aturan main dalam mencintai sesuatu. Dan secara global
yang menjadi tuntutan itu adalah mencintai karena Allah atau yang sering kita kenal dengan sebutan mahabbah fillaah.
Motif-motif cinta itu juga tak lain adalah merupakan level-level tersendiri yang membedakan nilai cinta yang ada dalam hati atau jiwa manusia. Imam Ibnu al-Qoyyim menyebutkan beberapa jenis, level dan motif yang bisa menjadi dasar suatu cinta dan mahabbah fillaahlah yang menempati nilai dan level tertinggi dalam mencintai sesuatu[1].
Hampir semua jenis dan motif cinta hanya menjanjikan benefit materialis duniawi. Tapi tidak dengan mahabbah fillaah. Mahabbah fillaah selain memberikan benefit duniawi juga menjanjikan benefit ukhrawi sebagaimana telah diterangkan oleh Rasulullah dalam hadits shohih beliau yang diriwayatkan oleh beberapa kodifikator hadits nabawi seperti Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Hibban, Imam Baihaqi dan beberapa kodifikator yang lainnya[2].
Faktor inilah yang menjadikan agama Islam sangat meganjurkan para pemeluknya untuk menggapai gelar pecinta fillaah. Tapi yang menjadi problematika adalah perkembangan zaman yang membawa dekadensi berbagai aspek kehidupan masyarakat muslim membuat mahabbah fillaah hampir tak memiliki ‘porsi’ dalam kehidupan seorang muslim karena yang paling ditonjolkan oleh musuh-musuh Islam seperti misionaris dan lainnya adalah materialisme sehingga muncullah istilah pragmatisme, rasionalisme, eksistensisme dan berbagai macam aliran pemikiran yang mengemban banyak misi yang salah satunya menghapus kata mahabbah fillaah dari kamus muslimin.
Melalui artikel ini penulis mengajak pembaca dan kaum muslimin secara umum untuk bersama-sama lebih mengenal mahabbah fillaah dan kembali menghidupkannya di tengah-tengah masyarakat muslim.
MAHABBAH FILLAAH DALAM PERSPEKTIF SYARI’AT DAN INDIKASINYA
Mahabbah fillaah – sebagaimana telah disinggung di atas – memiliki banyak keistimewaan dan kelebihan dalam perspektif Islam. Dalam hal ini Rasulullah bersabda bahwa mahabbah fillaah adalah salah satu hal yang bisa memberikan kenikmatan iman kepada seorang muslim[3].  Di hadits lain beliau menyatakan bahwa salah satu superioritas mahabbah fillaah adalah janji Allah untuk mendapatkan naungan di padang mahsyar[4].
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits yang juga menyinggung keutamaan mahabbah fillaah ini. Dalam hadits itu disebutkan bahwa mencintai sesuatu atau seseorang karena Allah adalah salah satu jalan di mana Allah akan memberikan cintaNya kepada sang pecinta fillaah[5]. Masih dalam hadits nabi. Rasulullah bersabda bahwa seseorang itu akan bersama dengan orang yang ia cintai[6]. Secara otomatis pecinta fillaah juga akan mendapatkan hasil ini nanti di akhirat setelah di dunia ini.
Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah menyebutkan beberapa macam motif yang mendasari cinta seorang manusia. Di antara macam-macam yang beliau sebutkan, mahabbah fillaahlah yang menempati posisi pertama. Menurut beliau, mahabbah fillaah akan melahirkan cinta terhadap apa yang dicintai Allah dan Rasulullah, mahabbah fillaah juga akan menghasilkan kecintaan kita kepada Allah dan RasulNya[7].
Oleh karena keutamaan-keutamaan inilah selayaknya bagi muslimin untuk berlomba-lomba mencapai cinta sang Pencipta melalui jalan mahabbah fillaah. Imam Malik bin Anas (salah satu pendiri madzhab fiqih) tidak hanya menganggap mahabbah fillaah ini sebagai kelayakan, namun beliu menganggap mahabbah fillaah ini adalah sebuah kewajiban dalam agama Islam.[8]
Rasulullah sebagai panutan bagi umat Islam telah mengajarkan kita bagaimana mencintai sesuatu atau seseorang fillaah. Dalam banyak kesempatan beliau mengindikasikan ‘prosedur-prosedur’ yang harus dilalui oleh seorang muslim dalam cintanya itu.
Seorang yang mencintai orang lain karena Allah akan menghilangkan semua ukuran materialisme dan duniawi. Satu-satunya yang menjadi barometer adalah karena Allah (lillah). Dalam hal ini Rasulullah bersabda ketika menjelaskan tujuh golongan orang yang mendapatkan naungan dari Allah di padang mahsyar: “Dua orang lelaki yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah karena Allah”. Istilah ‘berkumpul dan berpisah karena Allah’ sebenarnya bukanlah batasan paten mengenai tuntutan para pecinta fillaah. Kedua pekerjaan tersebut bisa dan perlu dianalogikan kepada pekerjaan-pekerjaan dan tindakan lainnya sehingga mahabbah fillaah menjadikan semua tingkah laku dan perbuatan sang pecinta hanya muncul karena mencari ridla Allah.
Oleh karena hal inilah cinta yang bermotifkan fillaah tidak akan pernah menghalangi sang pecinta untuk menegakkan dan memilih syari’at Islam ketika orang yang ia cintai melenceng dari koridor Islam. Bukan hanya sekedar memilih syari’at Islam, tapi mahabbah fillaah ini juga tidak menghalangi sang pecinta untuk menyalahkan orang yang ia cintai ketika posisinya bertolak belakang dengan ajaran Islam.
Rasulullahlah sampel pertama yang bisa dijadikan contoh kongkrit mengenai hal ini. Usamah bin Zaid seorang sahabat yang dikenal sebagai orang yang dicintai Rasulullah (Hibbu Rosulillah) pernah membela seorang wanita dari sukunya yang telah melakukan pencurian. Mengetahui hal ini Rasulullah marah dan cintanya terhadap Usamah tidak menghalangi beliau untuk menyalahkan bahkan memarahinya karena itulah hakikat mahabbah fillaah. Dan pada kesempatan inilah beliau mengucapkan kata-kata beliau yang sangat terkenal: “Seandainya fulanah binti Muhammad mencuri, maka saya yang akan memotong tangannya”[9]
Dalam hadits di atas sebenarnya bisa kita ambil dua contoh dari Rasulullah. Cinta beliau kepada puteri beliau, Fathimah dan cinta beliau kepada Usamah bin Zaid. Tapi kecintaan beliau kepada kedua-duanya tak pernah menjadi penghalang untuk tetap menegakkan hukum yang telah Allah gariskan bagi manusia.
Salah satu indikasi lain yang telah Rasulullah tunjukkan adalah saling menasehati dalam kebaikan. Pada suatu kesempatan Rasulullah SAW mengungkapkan kecintaan beliau kepada seorang sahabat yang dikenal sebagai sahabat yang qori’ yaitu Mu’adz bin Jabal, beliau berkata, “Wahai Mu’adz, sesungguhnya aku mencintaimu” Mu’adz juga mengutarakan kecintaannya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah pun menunjukkan salah satu tuntutan bagi pecinta fillaah dan beliau berkata, “Aku berwasiat kepadamu wahai Mu’adz, jangan tinggalkan setiap selesai sholat kamu mengatakan (Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatika)”[10]. Indikasi ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-‘Ashr, “… dan saling menasehati dengan kebaikan dan saling menasehati dengan kesabaran”.
Imam Abu Tholib al-Makki menyebutkan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang mengaku cinta fillaah, antara lain cinta tersebut bukanlah karena motif kemaksiatan, dorongan cinta yang mendasari mahabbah fillaah itu juga bukanlah perkara duniawi, cinta yang tumbuh juga bukan karena sejalannya keinginannya dengan keinginan orang yang ia cintai, bukan pula karena kemaslahatan yang diinginkan dengan cinta itu melainkan kemaslahatan religius. Syarat lain yang harus ditempuhnya – masih dari syarat yang disebutkan Al-Makki – adalah cinta itu bukan karena perbuatan baik ataupun jasa yang telah ia terima dari orang yang ia cintai[11].
Imam Abdullah al-Haddad menjelaskan bahwa salah satu tanda bahwa seseorang itu mencintai karena Allah, adalah dia mencintai orang yang ia cintai karena orang itu mencintai Allah atau berada dalam ketaatan kepada Allah. Selain itu, dia mencintai orang itu juga karena dia bisa membantunya melaksanakaan ibadah dan ketaatan kepada Allah SWT[12].
MENGGAPAI GELAR PECINTA FILLAAH
Melihat posisi dan keutamaan mahabbah fillaah dalam agama Islam sebagaimana telah diuraikan di atas, merupakan suatu kepatutan dan bahkan keharusan bagi seorang muslim untuk mengevaluasi motif cinta yang telah ia jalani selama ini. Perlu diadakan koreksi dan bahkan rekonstruksi terhadap motif cinta yang melenceng dari mahabbah fillaah.
Salah satu jalan menuju sistem cinta yang sempurna ini adalah membangun kesadaran diri bahwa hanya mahabbah fillaahlah yang akan bertahan hingga hari akhir dan hingga di syurga nanti sebagaimana telah dilontarkan oleh Rasulullah. Kesadaran inilah yang sebenarnya menjadi dasar utama dalam misi rekonstruksi sistem cinta seorang muslim menuju mahabbah fillaah.
Hal berikutnya yang juga harus terealisasikan adalah menanggalkan semua atribut materialisme dan duniawi dari jalan cinta. Semua aspek dan dimensi cinta yang dijalani oleh muslim tersebut harus bermuara pada Allah dan syari’atNya, dan itulah jalan cinta yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada kita dimana yang menjadi ukuran dalam cinta beliau adalah syari’at Allah sehingga tak akan ada yang menjadi penghalang dalam implementasi hukum Allah yang telah ditentukan.
Langkah kongkrit lain yang juga harus ditempuh oleh pecinta fillaah adalah berusaha merealisasikan semua tuntutan yang diarahkan kepadanya sebagai pecinta fillaah. Aplikasi sub-sub mahabbah fillaah yang menjadi keniscayaan dalam perjalanan cinta harus tercapai dengan baik.
Hal penting yang sering diabaikan oleh para pecinta fillaah adalah memberitahukan orang yang ia cintai bahwa dia memang benar-benar mencintainya fillaah. Dalam hal ini seorang sahabat pernah mengabarkan Rasulullah SAW tentang kecintaannya kepada seorang sahabatnya. Rasulullah pun bertanya apakah ia telah memberitahunya. Si pecinta fillaah tersebut menjawab tidak dan Rasulullah pun memerintahkannya untuk mengabarkan hal itu kepada orang yang ia cintai[13].
Jika seorang muslim sudah mencapai level mahabbah yang benar-benar fillaah, maka cintanya itu akan membawa nilai positif bagi dirinya, masyarakatnya dan bahkan bagi kaum muslimin. Dan apabila masyarakat muslim sudah membudayakan mahabbah fillaah sehingga motif cinta ini mengakar dalam komunitas muslim, maka janji Allah untuk mencintai para pecinta fillaah akan terpenuhi dan secara otomatis akan terwujudlah masyarakat yang harmonis dan diridlai oleh Allah dan RasulNya.


[1] - Muhammad ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah, Zad al-ma’ad, Lebanon: Muassasat al-Risalah, Cet. Ke-27, jilid ke-4 hal 246.
[2] - HR. Bukhari Hadits No (260), Imam Malik No (1709), Tirmidzi No (2313), Ibnu HibbanNo (4563), Baihaqi No (5186)
[3] - HR Muslim No (60)
[4] - HR. Bukhari Hadits No (260), Imam Malik No (1709), Tirmidzi No (2313), Ibnu HibbanNo (4563), Baihaqi No (5186)
[5] - HR Muslim No (4656)
[6] - HR Bukhori No (5703) HR Muslim No (6888)HR Tirmidzi No (2307)
[7] - Muhammad ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah, Zad al-ma’ad, Lebanon: Muassasat al-Risalah, Cet. Ke-27, jilid ke-4 hal 246.
[8] - Yahya bin Syarof, Syarh Shohih Muslim, Kairo: AL-Mathba’ah al-Mishriyyah, Cetakan pertama, jilid ke-1 hal 122.
[9] - HR Bukhori No (3216) HR Muslim No (4505)
[10] - HR Ahmad No (22119)
[11] - Abu Tholin al-Makki,  Qut al-Qulub, Kairo: AL-Mathba’ah al-Mishriyyah, Cetakan pertama, jilid ke-1 hal 122.
[12] - Abdullah al-Haddad, An-Nashoih ad-Diniyyah, Tarim: Dar al-Hawi, Cet. Ke-2, jilid pertama hal 304.

[13] - Musnad Ahmad No (12590), Musnad Abi Ya’la No (3348)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar