Rabu, 29 Agustus 2012

Mata Dan Air Mata Ibu (Cerpen Yang Menggugah Jiwa)


Waktu berjalan sangat cepat. Tak terasa aku sudah berumah tangga, memiliki istri cantik dan kaya, tiga anak yang cerdas, hidup yang sangat menyenangkan dan semuanya sudah aku capai. Lebih dari cita-citaku dulu. Dulu aku bercita-cita hanya ingin menjadi pegawai di sebuah perusahaan. Tapi sekarang aku bahkan memiliki perusahaan dengan puluhan cabang yang tersebar di seluruh negeri ini, Belanda. Negeri yang aku pilih sebagai tempat tinggalku sejak belasan tahun yang lalu.
Tak ada yang membuatku pindah dari negeri tercintaku, Indonesia ke negeri asing ini kecuali rasa maluku akan ibuku. Semenjak aku duduk di bangku SD aku sudah dijadikan bahan tertawa oleh teman-temanku. Tidak hanya sekelas tapi semua temanku di sekolah menghina dan mengejekku karena ibuku picak.
Di SMP dan SMA pun aku dijadikan bahan tertawaan oleh teman-temanku. Apalagi di SMA-ku ibuku berprofesi sebagai penyapu di sekolah. Hinaan mereka lebih sakit lagi kurasakan. Hampir setiap hari teman-temanku meluncurkan bermacam-macam kata-kata yang benar-benar menikam hatiku. Hingga suatu hari aku tak dapat lagi bersabar dan akhirnya aku angkat bicara. Bukan di depan teman-teman, tapi di depan ibuku.
“Kenapa Ibu selalu membuat saya ditertawakan?!
Kenapa Ibu tidak mati saja?!” teriakku padanya dengan air mata berlinang. Aku tak peduli dengan apa yang aku katakan itu. Tapi sungguh seakan jutaan jarum menusuk-nusuk batin ini. Ibuku hanya diam dan tak menjawab barang sepatah katapun. Hanya air matanya yang dapat kupahami betapa kerasnya kata-kataku tadi. Dari saat itu aku ingin sekali menjuh dari Ibuku. Aku ingin dia hilang saja dari hidupku dan tak lagi menjadikanku bahan tertawaan.
Tanpa pemberitahuan padanya aku diam-diam mengikuti tes beasiswa penuh untuk belajar di Belanda. Dan ternyata aku lulus. Tidak hanya biaya pendidikan, semua keperluanku bahkan uang saku dan tiket pulang ke Indonesia setiap kali liburan diberikan secara cuma-cuma oleh pihak universitas. Aku senang karena tak akan ada orang yang tahu bahwa Ibuku picak.
Studiku di negeri ini sangat membanggakan. Setiap semester aku mendapatkan bonus dari universitas lantaran IPK-ku adalah yang tertinggi di sini. Bonus yang diberikan universitas tidak sedikit. Setiap semester aku diberi 500 Dollar dan dari uang itulah aku mulai merintis usahaku.
Setelah cukup lama di negeri ini aku sedikit banyak tahu tentang keadaan ekonomi dan kebutuhan masyarakat Belanda. Aku dapat melihat bahwa mereka sangat menyukai mode. Akupun mengajak beberapa temanku yang juga berasal dari Indonesia dan memiliki keahlian dasar dalam pembuatan batik untuk membuka usaha pakaian batik pertama di negeri ini.
Bulan demi bulan, tahun demi tahun usahaku itu berkembang pesat hingga aku bisa mendatangkan banyak karyawan dari Indonesia dan akupun membuka puluhan cabang di negeri ini yang tersebar hampir di seluruh kota yang ada.
Beberapa tahun setelah aku membuka usaha batik, seorang pengusaha besar yang juga berasal dari Indonesia menawarkanku untuk menikahi puterinya. Aku tak perlu menanyakannya tentang puterinya itu karena dia adalah temanku di universitas dulu. Aku tahu dia pintar, cantik, baik dan untuk seorang lelaki sepertiku dia termasuk wanita yang sangat diidam-idamkan. Aku tak mau memberitahukan mereka bahwa aku masih memiliki ibu di Indonesia. Aku hanya mengatakan kepada mereka bahwa aku sudah yatim piatu dari sejak kecil.
Bertahun-tahun aku menjalin rumah tangga dengan istri dan anak-anakku. Semuanya berjalan lancar hingga saat ini tanpa aku teringat sedikitpun akan ibuku dan tak terpikirkan sejenakpun bagaimana keadaannya saat ini. Aku tak tahu apakah dia masih bisa berdiri di atas kedua kakinya. Tapi aku yakin dia masih bisa karena aku sangat mengerti siapa dia.
Malam ini aku terbangun dari tidurku. Aku berwudlu' kemudian sholat tahajjud beberapa raka'at. Tiba-tiba saja hati ini bergetar mengingat sosok ibu yang sebenarnya aku cintai itu. Tampak jelas wajahnya di benakku seakan ia sedang tersenyum melihatku. Air mataku menetes dengan deras mengingat betapa lamanya aku meninggalkannya tanpa kabar. Aku sadar betapa sakitnya seorang ibu diperlakukan seperti itu oleh anaknya. Aku tak mau air mata ini berhenti menetes. Aku biarkan saja ia menetes dan terus menetes.
Kuputuskan, esok hari aku akan pulang ke Indonesia untuk menjenguk ibuku dan meminta maaf atas semua kesalahanku hingga saat ini. Aku ingin memeluknya, menangis di pelukannya dan mengatakan padanya "Maafkan aku, Ibu. Aku sangat mencintaimu".
Akupun tiba di rumah asliku yang masih kumuh itu. Aku teringat semua memori yang ibu tuliskan di lembaran sejarahku. Ketika aku tertawa, menangis, senang, sedih dan semuanya. Ketika ibuku kebingungan karena aku sakit, ketika ia tersenyum karena aku mendapatkan peringkat pertama dan segalanya.
Tapi, mana ibuku???... Pak Parjo tetanggaku datang menghampiriku dan lantas memelukku. Aku tak tahu apa maksud semua ini. Ia berbisik pelan, "Ibumu sudah wafat lima tahun yang lalu" katanya sembari menyerahkan sepucuk surat dari ibuku.
Kali ini bukan jutaan jarum yang seakan menusuk-nusuk batinku. Tapi seakan jutaan pedang yang menyayat-nyayat hati ini. Mengapa engkau pergi padahal aku tak sempat meminta maaf padamu, Ibu? Mengapa engkau meninggalkanku padahal aku tak sempat memelukmu dan menangis di pangkuanmu? Mengapa?
Kubuka surat singkat itu dan kubaca perlahan. Aku ingat sekali bentuk huruf tulisan itu. Itu adalah tulisan ibuku. Dia yang mengajariku menulis. Surat itu berisi:
Nak, maafkan Ibu. Karena Ibu kamu dihina. Karena Ibu kamu diejek.
Nak, ketika kamu kecil kamu dan bapakmu mengalami kecelakaan. Bapakmu tak dapat diselamatkan dan matamu yang kiri tak dapat berfungsi. Akhirnya Ibu berikan mata Ibu untukmu. Ibu bangga sekali karena kamu bisa melihat dunia ini dengan mata Ibu. Ibu sudah memaafkan semua salahmu. Sekali lagi maafkan Ibu.
Ibumu yang mencintaimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar