Waktu
berjalan sangat cepat. Tak terasa aku sudah berumah tangga, memiliki istri
cantik dan kaya, tiga anak yang cerdas, hidup yang sangat menyenangkan dan
semuanya sudah aku capai. Lebih dari cita-citaku dulu. Dulu aku bercita-cita
hanya ingin menjadi pegawai di sebuah perusahaan. Tapi sekarang aku bahkan
memiliki perusahaan dengan puluhan cabang yang tersebar di seluruh negeri ini, Belanda.
Negeri yang aku pilih sebagai tempat tinggalku sejak belasan tahun yang lalu.
Tak ada
yang membuatku pindah dari negeri tercintaku, Indonesia ke negeri asing ini
kecuali rasa maluku akan ibuku. Semenjak aku duduk di bangku SD aku sudah
dijadikan bahan tertawa oleh teman-temanku. Tidak hanya sekelas tapi semua
temanku di sekolah menghina dan mengejekku karena ibuku picak.
Di SMP
dan SMA pun aku dijadikan bahan tertawaan oleh teman-temanku. Apalagi di SMA-ku
ibuku berprofesi sebagai penyapu di sekolah. Hinaan mereka lebih sakit lagi
kurasakan. Hampir setiap hari teman-temanku meluncurkan bermacam-macam
kata-kata yang benar-benar menikam hatiku. Hingga suatu hari aku tak dapat lagi
bersabar dan akhirnya aku angkat bicara. Bukan di depan teman-teman, tapi di
depan ibuku.
“Kenapa Ibu
selalu membuat saya ditertawakan?!
Kenapa Ibu tidak mati saja?!” teriakku padanya dengan air mata berlinang. Aku tak peduli dengan apa yang aku katakan itu. Tapi sungguh seakan jutaan jarum menusuk-nusuk batin ini. Ibuku hanya diam dan tak menjawab barang sepatah katapun. Hanya air matanya yang dapat kupahami betapa kerasnya kata-kataku tadi. Dari saat itu aku ingin sekali menjuh dari Ibuku. Aku ingin dia hilang saja dari hidupku dan tak lagi menjadikanku bahan tertawaan.
Kenapa Ibu tidak mati saja?!” teriakku padanya dengan air mata berlinang. Aku tak peduli dengan apa yang aku katakan itu. Tapi sungguh seakan jutaan jarum menusuk-nusuk batin ini. Ibuku hanya diam dan tak menjawab barang sepatah katapun. Hanya air matanya yang dapat kupahami betapa kerasnya kata-kataku tadi. Dari saat itu aku ingin sekali menjuh dari Ibuku. Aku ingin dia hilang saja dari hidupku dan tak lagi menjadikanku bahan tertawaan.
Tanpa
pemberitahuan padanya aku diam-diam mengikuti tes beasiswa penuh untuk belajar
di Belanda. Dan ternyata aku lulus. Tidak hanya biaya pendidikan, semua
keperluanku bahkan uang saku dan tiket pulang ke Indonesia setiap kali liburan
diberikan secara cuma-cuma oleh pihak universitas. Aku senang karena tak akan
ada orang yang tahu bahwa Ibuku picak.
Studiku
di negeri ini sangat membanggakan. Setiap semester aku mendapatkan bonus dari
universitas lantaran IPK-ku adalah yang tertinggi di sini. Bonus yang diberikan
universitas tidak sedikit. Setiap semester aku diberi 500 Dollar dan dari uang
itulah aku mulai merintis usahaku.
Setelah
cukup lama di negeri ini aku sedikit banyak tahu tentang keadaan ekonomi dan
kebutuhan masyarakat Belanda. Aku dapat melihat bahwa mereka sangat menyukai
mode. Akupun mengajak beberapa temanku yang juga berasal dari Indonesia dan
memiliki keahlian dasar dalam pembuatan batik untuk membuka usaha pakaian batik
pertama di negeri ini.
Bulan
demi bulan, tahun demi tahun usahaku itu berkembang pesat hingga aku bisa mendatangkan
banyak karyawan dari Indonesia dan akupun membuka puluhan cabang di negeri ini
yang tersebar hampir di seluruh kota yang ada.
Beberapa
tahun setelah aku membuka usaha batik, seorang pengusaha besar yang juga berasal
dari Indonesia menawarkanku untuk menikahi puterinya. Aku tak perlu
menanyakannya tentang puterinya itu karena dia adalah temanku di universitas
dulu. Aku tahu dia pintar, cantik, baik dan untuk seorang lelaki sepertiku dia
termasuk wanita yang sangat diidam-idamkan. Aku tak mau memberitahukan mereka
bahwa aku masih memiliki ibu di Indonesia. Aku hanya mengatakan kepada mereka
bahwa aku sudah yatim piatu dari sejak kecil.
Bertahun-tahun
aku menjalin rumah tangga dengan istri dan anak-anakku. Semuanya berjalan
lancar hingga saat ini tanpa aku teringat sedikitpun akan ibuku dan tak
terpikirkan sejenakpun bagaimana keadaannya saat ini. Aku tak tahu apakah dia
masih bisa berdiri di atas kedua kakinya. Tapi aku yakin dia masih bisa karena
aku sangat mengerti siapa dia.
Malam ini
aku terbangun dari tidurku. Aku berwudlu' kemudian sholat tahajjud beberapa
raka'at. Tiba-tiba saja hati ini bergetar mengingat sosok ibu yang sebenarnya
aku cintai itu. Tampak jelas wajahnya di benakku seakan ia sedang tersenyum melihatku.
Air mataku menetes dengan deras mengingat betapa lamanya aku meninggalkannya
tanpa kabar. Aku sadar betapa sakitnya seorang ibu diperlakukan seperti itu
oleh anaknya. Aku tak mau air mata ini berhenti menetes. Aku biarkan saja ia menetes
dan terus menetes.
Kuputuskan,
esok hari aku akan pulang ke Indonesia untuk menjenguk ibuku dan meminta maaf
atas semua kesalahanku hingga saat ini. Aku ingin memeluknya, menangis di
pelukannya dan mengatakan padanya "Maafkan aku, Ibu. Aku sangat
mencintaimu".
Akupun
tiba di rumah asliku yang masih kumuh itu. Aku teringat semua memori yang ibu
tuliskan di lembaran sejarahku. Ketika aku tertawa, menangis, senang, sedih dan
semuanya. Ketika ibuku kebingungan karena aku sakit, ketika ia tersenyum karena
aku mendapatkan peringkat pertama dan segalanya.
Tapi,
mana ibuku???... Pak Parjo tetanggaku datang menghampiriku dan lantas
memelukku. Aku tak tahu apa maksud semua ini. Ia berbisik pelan, "Ibumu
sudah wafat lima tahun yang lalu" katanya sembari menyerahkan sepucuk
surat dari ibuku.
Kali ini
bukan jutaan jarum yang seakan menusuk-nusuk batinku. Tapi seakan jutaan pedang
yang menyayat-nyayat hati ini. Mengapa engkau pergi padahal aku tak sempat
meminta maaf padamu, Ibu? Mengapa engkau meninggalkanku padahal aku tak sempat
memelukmu dan menangis di pangkuanmu? Mengapa?
Kubuka surat singkat itu dan kubaca
perlahan. Aku ingat sekali bentuk huruf tulisan itu. Itu adalah tulisan ibuku.
Dia yang mengajariku menulis. Surat itu berisi:
Nak, maafkan Ibu. Karena Ibu kamu dihina.
Karena Ibu kamu diejek.
Nak, ketika kamu kecil kamu dan bapakmu mengalami
kecelakaan. Bapakmu tak dapat diselamatkan dan matamu yang kiri tak dapat berfungsi.
Akhirnya Ibu berikan mata Ibu untukmu. Ibu bangga sekali karena kamu bisa
melihat dunia ini dengan mata Ibu. Ibu sudah memaafkan semua salahmu. Sekali
lagi maafkan Ibu.
Ibumu yang
mencintaimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar